Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memerangi Terorisme

Kompas.com - 27/09/2010, 03:13 WIB

Donny Gahral Adian

Peristiwa teror senantiasa membawa efek disruptif dan disorientasi. Penyerangan terhadap Markas Kepolisian Sektor Hamparan Perak, Deli Serdang, Sumatera Utara, misalnya, menimbulkan disorientasi dalam pengambilan kebijakan.

Presiden menginstruksikan Panglima TNI dan Kepala Polri untuk mengecek kelengkapan persenjataan guna mencegah terulangnya peristiwa Hamparan Perak (Kompas, 24/9). Sebagai respons terhadap panglima tertinggi angkatan bersenjata, instruksi tersebut terlalu teknis dalam menyikapi terorisme.

Perang melawan terorisme memerlukan perubahan fundamental soal definisi kita tentang ”perang”, ”terorisme”, dan ”operasi mengatasi terorisme” itu sendiri. Tanpa perubahan fundamental di tataran konseptual, kita senantiasa terjebak pada kebijakan teknis yang miskin gagasan. Alhasil, deret nyawa yang hilang selalu direspons dengan deret instruksi.

Perang

Perang melawan terorisme tidak memiliki musuh yang nyata seperti negara bangsa. Perang melawan terorisme sama abstraknya dengan perang melawan kemiskinan atau kebodohan. Pelaku teror memang individu konkret, tetapi pikiran, ideologi, ruang gerak, apalagi waktu, adalah abstrak dan tak tentu. Perang melawan terorisme tidak dapat dibatasi secara ruang dan waktu seperti perang melawan negara lain. Perbuatan teror dapat terjadi di mana saja dan tidak mengenal jeda. Sel mati bisa kemudian hidup kembali. Teroris yang mendapat remisi kemudian kembali mengorganisasi perlawanan.

Perang melawan terorisme sejatinya upaya menciptakan dan mempertahankan tata sosial tertentu (kedamaian) sehingga hal itu perlu melibatkan aksentuasi kuasa dan kekuatan secara terus-menerus. Perang melawan terorisme tidak mengenal kata ”berhenti”. Perang melawan terorisme harus dimenangkan terus-menerus.

Di sini dikotomi kaku antara operasi militer atau perang dan penegakan hukum jadi sangat cair. Corak ”tak berjeda” perbuatan teror menuntut kebijakan dalam anggaran sekaligus produk hukum. Kepolisian perlu mendapat anggaran tambahan untuk terus memerangi terorisme. Produk hukum perlu dibuat guna memayungi bantuan militer terhadap kepolisian. Kepolisian akan sangat kerepotan jika berjalan sendiri melawan terorisme yang tidak kenal ruang dan waktu.

Perang melawan terorisme menjungkirbalikkan perbedaan antara hubungan internasional dan politik domestik. Perbedaan antara ”pertahanan” dan ”keamanan” menjadi kabur dan bahkan lenyap. Operasi militer dengan penegakan hukum adalah dua sisi dari mata koin yang sama. Tidak ada lagi perbedaan antara musuh luar dan musuh dalam. Pelaku teror dalam negeri disusupi ideologi asing. Pelaku teror yang melarikan diri ke negara tetangga terus berkontribusi terhadap aksi teror di dalam negeri. Di sini, perang intensitas rendah (low intensity warfare) perlu ditemukan dengan penegakan hukum berintensitas tinggi (high intensity law enforcement).

Perang melawan terorisme juga menggeser konsep aliansi atau sekutu. Seiring dengan abstraknya konsep ”terorisme”, aliansi melawan teror juga sangat ekspansif dan universal. Segenap kekuatan yang ada dapat bersekutu melawan terorisme tanpa terikat ras, etnis, atau agama. Di sini konsep ”perang yang adil” muncul di berbagai media dan forum. ”Perang yang adil” muncul sebagai wacana moral untuk menopang perang melawan terorisme. Konsep tersebut berfungsi untuk memperluas perang dari tujuan-tujuan partikular ke universal. Di sini, aliansi moral perlu dibangun dengan kekuatan-kekuatan sipil yang dapat membantu memerangi ideologi terorisme.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com