TKI yang mengalami kekerasan di rumah majikan tak punya pilihan. Mereka terpaksa lari dari majikan dan menjadi TKI ilegal atau tetap bertahan dalam kondisi perbudakan. Setiap bulan 1.200-2.550 PRT lari dari majikan akibat kekerasan, gaji tidak dibayar, atau kondisi kerja berat. Dari jumlah tersebut, tidak sampai 10 persen yang ditangani KBRI.
Kebijakan Indonesia
Kebijakan Indonesia tidak kalah kejam dengan Malaysia. Malaysia melegalkan perbudakan, sementara Indonesia membuka peluang perdagangan orang. Sebab, pemerintah lebih banyak menyerahkan perlindungan TKI kepada PJTKI, mulai dari perekrutan, pelatihan, pengurusan dokumen, sampai penyelidikan kematian TKI di luar negeri.
Yang terjadi, catatan International Organization of Migrant menunjukkan, 67 persen korban perdagangan orang direkrut PJTKI resmi.
Kalau kita simak isi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, 93 persen pasal membahas soal bisnis penempatan TKI. Hanya 7 persen pasal yang membahas tentang perlindungan TKI.
Undang-undang juga menciptakan konflik antara Kemennakertrans dan BNP2TKI yang kian memperlemah perlindungan TKI. Bisa dipahami, ketika 513 TKI meninggal di Malaysia pada tahun 2008, Presiden tidak tahu.
Ratusan TKI terancam hukuman mati, pemerintah juga terlambat tahu. Padahal, dari 513 TKI yang meninggal itu, 87 persen adalah TKI berdokumen. Menjadi TKI legal sekalipun tak terjamin keselamatannya.
Kini perlindungan TKI semakin buruk. Serikat Buruh Migran Indonesia mencatat, dalam dua tahun terakhir kasus penganiayaan TKI meningkat 39 persen, kasus kekerasan seksual meningkat 33 persen, kasus kecelakaan kerja meningkat 61 persen, dan kasus TKI sakit meningkat 107 persen.
Data BNP2TKI juga menunjukkan, proporsi TKI berkasus meningkat dari 12,6 persen pada tahun 2009 menjadi 21 persen pada tahun 2010.
Persekongkolan