Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Keraton yang Hilang

Kompas.com - 23/08/2010, 02:41 WIB

Kondisi-kondisi ini jelas mempercepat hilangnya puing-puing yang tersisa. Untuk mencegahnya, ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin. Namun, secepat apa pun Tim Arkeolog berusaha, upaya ini rupanya tetap sulit bersaing dengan laju kerusakan. ”Sampai sekarang baru sekitar 10 persen saja dari dua keraton ini yang berhasil diekskavasi dan didokumentasikan,” kata Rully.

Padahal, hingga saat ini masih banyak yang belum diketahui dari dua keraton ini. Referensi baru diperoleh secara sekilas dari naskah ilmuwan Belanda, surat-surat warga Belanda yang pernah ditawan Sultan Agung, dan beberapa naskah sastra kuno (babad) yang ditulis sastrawan keraton. Referensi-referensi tersebut tak banyak memberi gambaran rinci seperti teknologi yang telah dikembangkan di keraton.

Temuan berupa saluran air yang telah dilengkapi sistem saringan berlapis tahun 2008, misalnya, menunjukkan adanya teknologi yang telah berkembang di Keraton Kerto. ”Kalau teknologi-teknologi ini bisa diungkap, bisa jadi sumber ilmu bagi bangsa Indonesia,” ujar Rully.

Lurah Desa Pleret Nur Subiyantoro mengakui, pembangunan perumahan memang cukup pesat di daerah Pleret. Pleret menjadi pilihan para pengembang karena aksesnya yang mudah serta jaraknya yang tak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta.

Bagi warga, kepentingan utama menggali lahan adalah untuk bahan batu bata. Di Desa Pleret ada ratusan perajin batu bata. ”Harga galian tanah sangat menggiurkan. Ada dua sistem yang biasanya dipakai, yakni menjual tanah dengan sistem truk. Harganya Rp 125.000 sampai Rp 140.000 per truk. Kedua, sistem penjualan per kubik dengan harga sekitar Rp 20.000 per meter kubik,” kata Nur.

Lahan yang digali tak hanya pekarangan, tetapi juga persawahan. Bekas galian dibiarkan begitu saja tanpa penanganan. Pemilik biasanya menjual lahan yang sudah rusak dengan harga murah. ”Setelah tidak bisa digali lagi, sawah saya jual seharga Rp 50 juta. Luas sawah sekitar 300 meter persegi,” kata Sakiyem (45), pembuat batu bata di Desa Pleret.

Saat menggali, tak jarang warga menemukan situs-situs peninggalan Mataram Islam. Kadang kondisinya rusak karena penggaliannya asal-asalan. Salah satunya adalah penemuan sumur tua yang diperkirakan dibuat abad ke-17. Dindingnya terbuat dari gerabah dengan diameter 70 cm dan tinggi 35 cm. Sumur tersebut ditemukan di Dusun Gunungkelir, Desa Pleret, pada tahun 2008.

Batu bata

Tradisi pembuatan batu bata juga tak lepas dari keberadaan Mataram Islam. Saat Sunan Amangkurat I berkuasa, ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat batu bata sebanyak-banyaknya. Tujuannya untuk membangun sebuah istana di Pleret. Perintah Sunan Amangkurat I, yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi I tersebut, menjadi titik awal tradisi pembuatan batu bata di Kecamatan Pleret.

Keraton dibangun pada abad XVI dengan luas 2.256 meter dikelilingi tembok dengan tinggi 6 meter dan tebal 1,5 meter. Semuanya terbuat dari batu bata. Setelah dihancurkan Belanda, batu bata bekas keraton lalu dimanfaatkan untuk membangun pabrik gula.

Pembangunan Keraton Pleret konon melibatkan sekitar 300.000 penduduk dengan sistem kerja paksa. Pembangunan tersebut telah banyak menularkan teknik pembuatan batu bata ke banyak warga. Setelah keraton berdiri megah, warga tetap membuat batu bata.

Usaha batu bata memuncak pascagempa bumi 2006. Banyaknya aktivitas pembangunan fisik pascagempa membuat permintaan akan batu bata melonjak tinggi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul, jumlah rumah yang rusak total 71.763 unit, rusak berat 71.372 unit, dan rusak ringan 73.669 unit.

Juru Pelihara Situs Keraton Pleret yang juga anggota Badan Perwakilan Desa Pleret, Rahmat Fauzi, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berharap pemerintah dan aparat desa setempat memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan situs yang berpotensi masih mengandung sisa-sisa keraton zaman Mataram Islam. Perlindungan diperlukan sebelum keraton itu benar-benar hilang.(ENY/IRE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com