Azyumardi Azra *
KOMPAS.com - Beberapa kalangan asing dalam percakapan dengan saya merasa aneh dengan gejala politik Indonesia belakangan ini. Bagi mereka, Indonesia tidak seperti biasanya, terlihat begitu ”senyap” dan kalem.
Mereka melihat tidak ada gejolak politik signifikan pada lingkungan elite politik, baik yang berada di dalam maupun di luar pemerintahan, seperti hampir selalu terjadi berkepanjangan selama dasawarsa terakhir. Juga tidak ada demo serta aksi protes mahasiswa dan kelompok masyarakat lainnya dalam skala besar yang hampir selalu menandai politik Indonesia pada masa pasca-Soeharto.
Apakah ini mengisyaratkan, Indonesia sudah mencapai titik keseimbangan politik? Atau sebaliknya, menandakan meningkatnya kelelahan dan bahkan apatisme politik dalam masyarakat?
Dari perspektif lain, gejala ”adem ayem” politik Indonesia sekarang boleh jadi bagi sementara orang merupakan indikasi kepuasan relatif publik terhadap kinerja pemerintah. Meski di sana-sini terdapat banyak kelemahan dalam kinerja pemerintah, ada kalangan masyarakat yang tidak terlalu mempersoalkan.
Sikap seperti ini boleh jadi karena merasa tidak perlu mempersoalkannya atau karena tidak peduli. Atau sebaliknya menganggap tiada guna mempersoalkan karena sia-sia belaka sebab bakal tidak didengar; dan kalaupun mereka dengar, tidak akan ada solusi konkret.
”Gone with the wind”
Hemat saya, gejala ”adem ayem” politik Indonesia dewasa ini lebih karena meningkatnya kelelahan politik (political fatique) yang berujung pada apatisme politik. Kenapa lelah dan apatisme politik?
Penyebab utamanya adalah tidak terselesaikannya berbagai kasus yang pernah mendapat perhatian dan sorotan publik; misalnya skandal Bank Century, kasus manipulasi pajak Gayus Tambunan, dan juga kasus kekerasan terhadap aktivis Indonesia Corruption Watch.
Semua kasus yang pernah menghebohkan publik itu sekarang tidak lagi jelas nasibnya, seolah menguap begitu saja, gone with the wind—berlalu bersama angin. Jika ada pernyataan dari pihak yang bertanggung jawab untuk mengusut demi penyelesaian kasus-kasus itu, sejauh ini tidak lebih daripada sekadar gimmick guna menenangkan publik.
Lihat pula kasus ledakan tabung elpiji yang menimbulkan banyak korban, baik jiwa maupun harta di berbagai pelosok Nusantara. Tidak terlihat langkah-langkah decisive untuk mengatasinya, sementara korban terus berjatuhan. Yang terlihat di depan publik adalah tiadanya koordinasi di antara instansi-instansi yang bertanggung jawab mengatasi masalah ini. Jika ada langkah yang dilakukan Pertamina, misalnya, terlihat cenderung ad hoc—bukan langkah programatis dan komprehensif yang bisa segera menyelesaikan ledakan tabung gas tersebut.
Hal yang sama terlihat dalam kasus lonjakan harga berbagai kebutuhan rakyat mulai dari cabai merah, bawang, sampai beras. Harga komoditas itu terlihat naik dan turun semaunya, hampir sepenuhnya dikuasai mekanisme pasar bebas. Fluktuasi harga pasar tidak dapat dikontrol instansi pemerintah yang bertanggung jawab menanganinya.
Jika ada operasi pasar yang mereka lakukan, terlihat sangat sporadis dan, karena itu, menjadi tanya besar bisa efektif mengendalikan harga-harga.
Yang tidak kurang mengherankan publik adalah terjadinya konflik dan pertikaian dalam Satgas Antimafia Hukum bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beberapa bulan lalu. Belum lagi mampu menunjukkan hasil yang bisa membangkitkan optimisme publik tentang pemberantasan ”mafia hukum”, satgas tersebut kini terancam pecah karena konflik kepentingan di antara anggotanya, seperti terlihat dengan pengunduran diri Irjen Herman Effendy, yang agaknya terkait kasus mafia hukum yang melibatkan kalangan pejabat tinggi Polri.
Apatisme dan kepemimpinan
Apatisme politik, baik di negara yang sudah mapan dengan demokrasi maupun yang masih dalam proses konsolidasi seperti Indonesia, jelas tidak menguntungkan. Dalam konteks Indonesia, apatisme politik dapat mengakibatkan kian terbengkalainya agenda-agenda konsolidasi demokrasi, seperti pemberdayaan pranata dan institusi demokrasi semacam partai politik, lembaga perwakilan rakyat (DPR); penciptaan good governance dan pemberantasan korupsi; penguatan kultur politik demokratis, civic culture (budaya kewargaan) dan civility (keadaban); serta penegakan hukum.
Jika agenda-agenda ini telantar, bisa dipastikan konsolidasi demokrasi di negeri ini tidak bakal pernah berakhir. Sebaliknya, yang terus berlanjut adalah kerancuan, anomali, dan kekisruhan politik yang menghambat akselerasi Indonesia menjadi sebuah negara yang bermartabat dan disegani negara-negara lain.
Pada sisi lain, di tengah wabah apatisme politik, bakal selalu ada orang yang sampai pada puncak frustrasinya dan akhirnya mengambil jalannya sendiri. Contoh paling akhir dari sikap ini adalah aksi aktor senior Pong Hardjatmo yang pekan lalu menaiki atap gedung DPR untuk menuliskan tiga kata, ”jujur, adil, tegas”, yang mengungkapkan kegusarannya pada situasi politik dan kepemimpinan yang tidak menentu.
Kunci untuk mencegah apatisme yang dapat berujung frustrasi dengan aksi tidak konvensional adalah kepemimpinan. Apatisme politik hanya bisa diatasi dengan kepemimpinan visioner, ”jujur, adil, tegas”, dan decisive. Kepemimpinan yang tak jujur dan tidak adil senantiasa gamang dan tidak tegas mengakibatkan terjadinya koalisi dan perselingkuhan politik semu karena sebenarnya tetap berlangsung pergumulan politik yang intens secara terselubung. Dalam situasi ini, sulit mengharapkan soliditas dan kebersamaan dalam mengatasi berbagai masalah bangsa.
Kepemimpinan yang dapat mencegah apatisme dan frustrasi politik adalah kepemimpinan yang bertumpu pada integritas; kepemimpinan yang menyatu antara perkataan dan perbuatan, tidak sekadar berbasa-basi untuk menyenangkan semua orang. Hanya pemimpin dengan integritas yang dapat memberikan inspirasi dan semangat bagi setiap mereka yang memegang tanggung jawab dalam perbaikan kondisi bangsa untuk berbuat lebih baik dan terbaik.
*Azyumardi Azra Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.