Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Konsep Kampus yang Ramah bagi Difabel

Kompas.com - 28/07/2010, 18:33 WIB

Untuk mendukung gerakan kampus yang ramah bagi para penyandang disabilitias, mulai hari ini kami akan menurunkan tiga pemenang lomba bertema "Strategi Mewujudkan Kampus yang Ramah dan Nondiskriminatif bagi Penyandang Disabilitas (penyandang cacat)", hasil kerja sama FISIP Universitas Indonesia dan Yayasan Mitranetra. (Redaksi)

Juara III : Pradizza Septiana Putri

Judul     : Three-in-One: Mengoptimalkan Realisasi Konsep Kampus yang Ramah bagi Difabel

Apakah difabel memerlukan pendidikan tinggi? Jawabannya adalah tentu saja. Difabel atau orang dengan kebutuhan khusus yang lebih dikenal sebagai penyandang cacat juga memerlukan pendidikan tinggi. Undang-Undang Penyandang Kecacatan Tahun 2007 dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional adalah dua di antara sekian banyak dasar hukum yang menurut Mangunsong (2009) memberikan jaminan sepenuhnya kepada difabel dalam memeroleh pendidikan seperti halnya orang lain tanpa difabilitas. Namun, dasar hukum tersebut tampaknya belum berfungsi secara optimal. Meskipun perguruan tinggi di Indonesia membuka pintu selebar-lebarnya bagi calon mahasiswa berkebutuhan khusus, pelaksanaan proses belajar-mengajar dan lingkungan fisik kampus terkesan belum cukup ramah terhadap mereka. Beberapa perubahan positif dibutuhkan agar pemenuhan kebutuhan para difabel akan pendidikan tinggi tidak sekadar menjadi konsep atau teori tanpa aplikasi. Penyediaan sarana belajar, fasilitas khusus yang mendukung aksesibilitas, dan lingkungan sosial yang mendukung adalah suatu trinitas yang perlu dioptimalkan untuk mewujudkan kampus yang ramah bagi difabel.

Penyediaan sarana belajar Penyediaan sarana belajar yang ramah terhadap penyandang difabilitas adalah usaha pertama yang perlu dioptimalkan realisasinya. Perguruan tinggi perlu lebih awas terhadap kebutuhan mahasiswa difabel dalam mengakses materi-materi pembelajaran. Hal ini sangat penting, terutama bagi mahasiswa tunanetra yang cenderung lebih membutuhkan alat bantu yang berbeda dengan mahasiswa difabel lainnya. Keberadaan buku teks, diktat, dan slide presentasi yang umum digunakan di berbagai kampus cukup dapat mendukung mahasiswa difabel lainnya, seperti mahasiswa tunadaksa, tunarungu, ataupun tunawicara. Namun, bagi para mahasiswa tunanetra, keberadaan material pembelajaran yang cenderung bersifat visual tersebut tidak cukup membantu usaha belajar mereka. Untuk dapat membaca dan mengerjakan tugas, mereka membutuhkan alat-alat khusus seperti reglet dan stilus, papan bacaan, talking book, tape recorder, bahan cetak dengan tulisan berukuran besar, optacon untuk mengubah tulisan cetak menjadi dapat dikenali melalui perabaan, serta Kurzweil reading machine yang dapat menerjemahkan tulisan cetak ke dalam bentuk bunyi atau suara (Mangunsong, 2009).

Meskipun terkesan mahal, pemenuhan sarana belajar bagi mahasiswa difabel sebenarnya tidak selalu membutuhkan biaya besar. Selama ada kemauan, usaha, dan orang-orang yang rela menyediakan waktu dan tenaga untuk membantu, biaya tersebut bisa diminimalisasi. Ada kemungkinan bahwa mahasiswa tunanetra telah memiliki reglet, stilus, dan papan bacaan sendiri karena mereka tentu menggunakan alat tersebut ketika belajar di sekolah. Jika tidak, kampus dapat menyediakan beberapa dan meminjamkannya kepada mereka ketika dibutuhkan pada jam-jam kuliah. Sementara itu, buku teks bertulisan besar bagi mahasiswa tunanetra yang low vision atau memiliki penglihatan kurang awas, tetapi tidak buta total, bisa tidak dicetak apabila kampus bersedia menyediakan dan meminjamkan lensa atau kaca pembesar. Dalam usaha pengadaan alat-alat tersebut, kampus dapat bekerja sama dengan lembaga-lembaga nirlaba seperti Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Selain itu, talking book juga tidak dibutuhkan selama ada relawan yang bersedia membaca dan merekam bahan-bahan bacaan kuliah melalui alat perekam.

Melalui usaha-usaha tersebut, perguruan tinggi diharapkan dapat menyediakan sarana belajar yang lebih ramah dan mendukung usaha para mahasiswa difabel dalam menuntut ilmu. Perlu diingat, pengadaan alat-alat bantu belajar yang lebih mengutamakan tunanetra tersebut bukan bertujuan untuk lebih mengistimewakan mahasiswa tunanetra dibandingkan mahasiswa difabel lain, melainkan untuk memberi kesempatan yang sama bagi mereka dalam menuntut ilmu seperti mahasiswa lain yang tidak memiliki gangguan penglihatan. Hal lain yang menjadi pertimbangan adalah cukup banyaknya penyandang tunanetra yang memasuki perguruan tinggi. Sebagai contoh, di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, mahasiswa tunanetra paling banyak jumlahnya jika dibandingkan mahasiswa difabel lain (Yayasan Mitra Netra, 2009).

Penyediaan fasilitas yang mendukung aksesibilitas difabel Aksesibilitas merupakan sebuah isu yang selalu diangkat dalam pembahasan mengenai pemenuhan hak para difabel. Aksesibilitas dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 didefinisikan sebagai kemudahan yang disediakan bagi penyandang cacat guna memudahkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan (El-Saerodji, 2008). Berdasarkan undang-undang tersebut, aksesibilitas memang harus diperhatikan dalam usaha pemenuhan hak difabel, termasuk di lingkungan pendidikan. Ramp atau tanjakan adalah salah satu sarana aksesibilitas yang dibutuhkan agar pengguna kursi roda yang tidak dapat menaiki tangga tetap dapat melewati suatu jalur naik sendiri (B0cah, 2009). Selain itu, keberadaan pegangan atau railing pada sisi jalan, tangga, dan kamar mandi juga dapat membantu difabel, terutama tunadaksa, untuk bergerak dengan aman tanpa bantuan orang lain.

Keberadaan sarana fisik yang mendukung aksesibilitas difabel, terutama tunadaksa, tersebut memang cukup mendapat perhatian. Meskipun mungkin belum semua, sejumlah tempat di beberapa kampus telah memiliki ramp. Namun, perlu diingat bahwa bukan hanya fasilitas itu saja yang dibutuhkan untuk menjamin aksesibilitas mahasiswa difabel. Penyandang tunanetra yang baru memasuki lingkungan kampus, misalnya, membutuhkan bantuan lain untuk memudahkan orientasi dan mobilisasi dirinya. Apabila mahasiswa tersebut memasuki lift, atau mencari ruangan kuliah, dia belum tentu dapat berhenti di lantai yang tepat atau menemukan ruangan yang benar tanpa bantuan orang lain. Oleh sebab itu, agar dapat menghadirkan suasana yang lebih ramah dan tidak membatasi mahasiswa tersebut, diperlukan adanya tambahan sarana informasi khusus, seperti pemasangan pelat logam di sisi tombol lift dan di sisi pintu ruangan berisi informasi mengenai nomor lantai atau nomor ruangan dalam huruf braille.

Sarana fisik yang disebutkan di atas hanyalah contoh. Untuk menjamin aksesibilitas mahasiswa difabel, perguruan tinggi perlu mengetahui kebutuhan khusus mahasiswanya, dan mengusahakan pengadaan sarana yang sesuai dengan kebutuhan tersebut. Sementara itu, sarana yang telah ada, seperti ramp, perlu diperbanyak untuk memberikan akses yang lebih leluasa bagi penggunanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com