Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem atau Kepemimpinan?

Kompas.com - 28/07/2010, 03:03 WIB

Langkah Yudhoyono seperti di atas diduga untuk menjaga stabilitas koalisi meski dalam sistem presidensial, kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Namun, langkah itu memasukkan logika pemikiran sistem parlementer di mana kabinet disusun dengan mempertimbangkan komposisi partai pendukung pemerintahan.

Pemerintahan efektif

Masuknya cita rasa parlementer dalam pemerintahan kita yang menurut UUD 1945 bersistem presidensial diyakini mengurangi efektivitas pemerintahan. Kondisi ini dipandang bermula dari banyaknya parpol (multipartai) di Indonesia.

Pandangan itu, antara lain, diperkuat oleh hasil penelitian Scott Mainwaring (1993) yang menyimpulkan, sistem presidensial akan menemui masalah jika digabungkan dengan sistem multipartai ekstrem, yaitu lebih dari lima parpol di parlemen seperti yang terjadi di Indonesia.

Kondisi ini karena koalisi permanen yang dibutuhkan dalam sistem presidensial sulit dibangun dalam multipartai. Multipartai di parlemen juga memperbesar potensi kebuntuan antara parlemen dan presiden karena setiap pihak merasa dipilih langsung oleh rakyat. Akibatnya, pemerintahan sulit berjalan efektif.

Dengan pemikiran di atas, menjadi wajar jika wacana penyederhanaan partai, seperti dengan penerapan ambang batas parlemen (parliamentary treshold/PT), dilihat sebagai salah satu solusi. Sebab, penerapan PT 2,5 persen pada Pemilu 2009 ternyata mengurangi jumlah parpol di DPR dari 16 pada pemerintahan 2004-2009 menjadi sembilan pada pemerintahan 2009-2014. Jika PT dinaikkan 5 persen, seperti wacana yang belakangan muncul, diperkirakan hanya ada lima parpol di parlemen.

Pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina, Burhanuddin Muhtadi, juga berpandangan, idealnya ada lima atau maksimal tujuh parpol di parlemen. Lima parpol itu mewakili golongan Islam modern seperti PKS dan PAN, Islam tradisional (PKB dan PPP), nasionalis tengah (Golkar), nasionalis kiri (PDI-P), dan nasionalis kanan (Demokrat).

Namun, Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, tidak yakin penyederhanaan parpol akan otomatis membuat pemerintahan makin bersifat presidensial sehingga dapat lebih efektif.

Menurut Airlangga, kurang efektifnya pemerintahan saat ini terutama tidak disebabkan oleh sistem, melainkan karakter kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang kurang tegas dan cenderung kompromistik.

”Dengan memenangi pilpres hanya satu putaran dan Partai Demokrat memenangi pemilu legislatif, Yudhoyono seharusnya tidak perlu memikirkan tekanan partai koalisi,” harap Airlangga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com