Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sistem atau Kepemimpinan?

Kompas.com - 28/07/2010, 03:03 WIB

M Hernowo

Pemerintahan kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono baru berumur sembilan bulan. Namun, wacana seperti perombakan kabinet, peninjauan ulang koalisi, hingga pemakzulan sudah mewarnai pemerintahan yang seharusnya masih di masa bulan madu ini.

Ironisnya, berbagai wacana yang dapat disebut sebagai tekanan terhadap pemerintahan Yudhoyono ini sudah dimulai pada 27 Oktober 2010 atau hanya satu minggu setelah dia dan Boediono dilantik menjadi presiden dan wakil presiden pada 20 Oktober 2010. Hari itu, Fraksi Partai Golkar mendukung penggunaan hak angket kasus Bank Century, yang belakangan menyeret nama Boediono.

Kasus Bank Century, yang berkisar pada pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk bank itu pada November 2008-Juli 2010, akhirnya seperti menenggelamkan keberhasilan Yudhoyono-Boediono memenangi pemilu presiden dengan perolehan 60,8 persen suara di putaran pertama. Kasus itu seolah juga menunjukkan tidak banyak artinya kemenangan Partai Demokrat, yang tidak dapat dilepaskan dari Yudhoyono, dalam pemilu legislatif.

Akhirnya, kasus Bank Century juga menunjukkan sulitnya Yudhoyono lepas dari tekanan parpol pendukungnya. Itu terlihat ketika dia memilih memperbolehkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, yang disebut dalam kasus Bank Century, melepaskan jabatannya karena menjadi Direktur Pelaksana Bank Dunia. Pada saat yang hampir sama,

Yudhoyono membentuk sekretariat gabungan (setgab) partai politik pendukung pemerintahannya dan menunjuk Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai ketua harian.

Kehadiran setgab diharapkan dapat menstabilkan koalisi pemerintahan Yudhoyono yang sempat ”cerai-berai” ketika kasus Bank Century. Koalisi ini terdiri dari Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB.

Belum reda dua wacana di atas, Ketua Partai Golkar Priyo Budi Santoso, sekitar dua minggu lalu, tiba-tiba mewacanakan perombakan kabinet. Wacana ini diikuti pengakuan kader Partai Golkar, Agun Gunandjar, bahwa banyak kader partainya menginginkan jabatan menteri.

Pada era pemerintahan Yudhoyono yang dimulai tahun 2004, perombakan kabinet selalu dikaitkan dengan dukungan parpol di pemerintahan. Yudhoyono diduga juga selalu memerhatikan komposisi parpol saat merombak kabinet.

Fenomena itu terbaca, misalnya, ketika Saifullah Yusuf diberhentikan sebagai Menteri Negara Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal dan digantikan Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy. Diduga, pertimbangan keputusan 7 Mei 2007 itu, antara lain, karena Saifullah tidak lagi kader PKB, sedangkan kementerian itu jatah PKB.

Langkah Yudhoyono seperti di atas diduga untuk menjaga stabilitas koalisi meski dalam sistem presidensial, kabinet merupakan hak prerogatif presiden. Namun, langkah itu memasukkan logika pemikiran sistem parlementer di mana kabinet disusun dengan mempertimbangkan komposisi partai pendukung pemerintahan.

Pemerintahan efektif

Masuknya cita rasa parlementer dalam pemerintahan kita yang menurut UUD 1945 bersistem presidensial diyakini mengurangi efektivitas pemerintahan. Kondisi ini dipandang bermula dari banyaknya parpol (multipartai) di Indonesia.

Pandangan itu, antara lain, diperkuat oleh hasil penelitian Scott Mainwaring (1993) yang menyimpulkan, sistem presidensial akan menemui masalah jika digabungkan dengan sistem multipartai ekstrem, yaitu lebih dari lima parpol di parlemen seperti yang terjadi di Indonesia.

Kondisi ini karena koalisi permanen yang dibutuhkan dalam sistem presidensial sulit dibangun dalam multipartai. Multipartai di parlemen juga memperbesar potensi kebuntuan antara parlemen dan presiden karena setiap pihak merasa dipilih langsung oleh rakyat. Akibatnya, pemerintahan sulit berjalan efektif.

Dengan pemikiran di atas, menjadi wajar jika wacana penyederhanaan partai, seperti dengan penerapan ambang batas parlemen (parliamentary treshold/PT), dilihat sebagai salah satu solusi. Sebab, penerapan PT 2,5 persen pada Pemilu 2009 ternyata mengurangi jumlah parpol di DPR dari 16 pada pemerintahan 2004-2009 menjadi sembilan pada pemerintahan 2009-2014. Jika PT dinaikkan 5 persen, seperti wacana yang belakangan muncul, diperkirakan hanya ada lima parpol di parlemen.

Pengajar Pascasarjana Universitas Paramadina, Burhanuddin Muhtadi, juga berpandangan, idealnya ada lima atau maksimal tujuh parpol di parlemen. Lima parpol itu mewakili golongan Islam modern seperti PKS dan PAN, Islam tradisional (PKB dan PPP), nasionalis tengah (Golkar), nasionalis kiri (PDI-P), dan nasionalis kanan (Demokrat).

Namun, Airlangga Pribadi, pengajar Ilmu Politik Universitas Airlangga, tidak yakin penyederhanaan parpol akan otomatis membuat pemerintahan makin bersifat presidensial sehingga dapat lebih efektif.

Menurut Airlangga, kurang efektifnya pemerintahan saat ini terutama tidak disebabkan oleh sistem, melainkan karakter kepemimpinan Presiden Yudhoyono yang kurang tegas dan cenderung kompromistik.

”Dengan memenangi pilpres hanya satu putaran dan Partai Demokrat memenangi pemilu legislatif, Yudhoyono seharusnya tidak perlu memikirkan tekanan partai koalisi,” harap Airlangga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com