Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Negara Harus Menjaga Keberagaman

Kompas.com - 02/07/2010, 03:14 WIB

Oleh Ninuk Mardiana Pambudy

Sampai hari ini Indonesia masih mengakui Pancasila sebagai dasar negara dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin hak asasi setiap warga negara sebagai dasar semua hukum di negara ini. 

Meski demikian, semakin hari terus bermunculan praktik oleh warga masyarakat maupun negara yang mendiskriminasi warga negara lain. Melihat berbagai praktik tersebut—termasuk yang terakhir pemaksaan pembongkaran patung Tiga Mojang karya Nyoman Nuarta dari kompleks perumahan Harapan Indah, Bekasi—Aksi Peduli Indonesia (API), Rabu (30/6) sore di Jakarta, mengeluarkan petisi yang ditujukan kepada negara.

Petisi yang diprakarsai Atika Makarim, Lies Marcoes-Natsir, Musdah Mulia, Bianti Djiwandono, Nursyahbani Katjasungkana, Tini al-Hadad, dan Zumrotin Soesilo menuntut negara bertanggung jawab menegakkan UUD 1945 dan setia pada keberagaman Indonesia; menegakkan hukum dan kehidupan bermasyarakat yang damai dan toleran; menindak tegas tiap bentuk kekerasan dan pemaksaan terhadap warga negara yang berbeda pandangan dan keyakinan; menegaskan kedudukan negara dalam berhadapan dengan berbagai kelompok yang menolak lambang negara; dan menolak pengambilalihan tidak sah dan melawan hukum peran polisi dan negara dalam melindungi keamanan negara.

Anggota DPR 2004-2009, Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan, API membuat petisi tidak semata-mata persoalan patung buatan Nyoman Nuarta, tetapi lebih jauh lagi sebagai persoalan ancaman atas hak warga negara.

Nursyahbani menyebut, bila pada masa Orde Baru klaim kebenaran dipegang saat ini Indonesia terjebak dalam situasi klaim kebenaran oleh kelompok elite negara, yaitu militer, saat ini klaim kebenaran dilakukan kelompok-kelompok masyarakat yang menggunakan alasan moral dan agama sebagai pembenar klaim mereka.

Menurut wakil dari kompleks perumahan tersebut, Kuntowijoyo, patung Tiga Mojang telah berdiri lebih dari dua tahun tanpa ada keluhan apa pun dari warga perumahan. Sejak awal Januari ada massa dari luar kompleks yang, menurut Kuntowijoyo, menuntut kepada Wali Kota Bekasi untuk membongkar patung tersebut dengan alasan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat Bekasi. Patung setinggi 15 meter yang menggambarkan tiga perempuan saling mempertautkan tangan itu pada 18 Juni lalu dibongkar sendiri oleh pengembang.

Saparinah Sadli, ketua pertama Komnas Anti-Kekerasan terhadap Perempuan, yang hadir dalam penandatanganan petisi itu mengatakan, negara harus membuktikan lebih dulu apakah telah terjadi pelanggaran sehingga patung itu diturunkan. Kalau memang ada pelanggaran, apa yang dilanggar. ”Pertanyaannya, mengapa awalnya patung itu diizinkan berdiri, lalu diturunkan setelah ada tekanan dari sekelompok orang,” kata Saparinah.

Tanggung jawab negara

API menuntut tanggung jawab negara dalam menegakkan hukum dan memastikan tidak ada hak warga negara yang dilanggar sekelompok orang dengan menggunakan kekerasan, alasan moral, dan ancaman. ”Ada sejumlah kasus di mana negara berdiam diri ketika sekelompok orang memaksakan kehendak kepada publik yang berbeda pandangan, tidak peduli lagi pada aturan hukum,” tutur Lis Marcoes-Natsir, aktivis perempuan Muslim, seraya menyebut sejumlah contoh, antara lain dihentikannya rapat anggota DPR di restoran oleh sejumlah orang.

Bagi Nyoman Nuarta, penurunan paksa patung tersebut merupakan tindakan semena-semena. ”Tidak ada diskusi. Saya merasa berhak tahu di mana saya melukai rasa kemanusiaan seperti yang dituduhkan kepada saya,” kata Nuarta.

Bagi seniman rupa itu, perkembangan seni sudah begitu jauh saat ini sebagai respons kreatif manusia terhadap lingkungannya, seperti yang diperlihatkan di banyak negara Asia, Eropa, termasuk Timur Tengah dan Afrika, seperti Mesir, Maroko, Kuwait, dan Dubai. Peristiwa ini akan berdampak jauh pada kebebasan berekspresi dan berkesenian.

Meski API menyampaikan petisinya karena keprihatinan terhadap peri kehidupan masyarakat secara umum, Nursyahbani menganggap kasus penurunan patung itu adalah simbol puncak diskriminasi terhadap perempuan. Setelah terjadi otonomi daerah, lahir berbagai peraturan daerah yang mendiskriminasi perempuan. Ada yang mengatur pakaian, mengatur gerak perempuan, hingga seksualitas perempuan,” tandas ahli hukum itu lagi.

Nursyahbani menegaskan, bila benar alasan berbagai perda diskriminatif itu adalah karena ketidakcakapan penyelenggara negara membuat peraturan, maka negara, dalam hal ini Presiden Indonesia melalui Kementerian Dalam Negeri, harus membatalkan berbagai perda tersebut. Sayangnya, demikian Nursyahbani, satu-satunya yang dibatalkan adalah perda di Aceh yang melarang perempuan ikut pilkada jika suaminya sudah dalam jabatan publik.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com