Oleh: AA GN Ari Dwipayana *
KOMPAS.com - Partai Keadilan Sejahtera bukan partai muda lagi. Dalam 12 tahun usianya, PKS yang awalnya didirikan sebagai Partai Keadilan pada tahun 1998 akan menghadapi dilema pilihan untuk tetap menjadi partai ideologis dengan logika representasi basis pendukung yang kuat atau berkembang menjadi partai elektoralis yang berupaya memburu suara sebanyak mungkin dalam setiap momen elektoral. Dua pilihan yang kadang kala sulit didamaikan.
Dalam wacana akademik, dilema ini dikonseptualisasi sebagai pertarungan dua logika yang selanjutnya memengaruhi perilaku partai antara logika representasi pendukung dan logika kompetisi (Kitschelt:1989). Dalam logika representasi pendukung, tingkah laku partai yang dipengaruhi oleh kepentingan pendukung utamanya. Itu artinya, tingkah laku sebuah partai bisa dimengerti dari kepentingan dan karakteristik pendukung utamanya.
Sementara itu, dalam logika kompetisi, tingkah laku partai yang dipengaruhi oleh keinginan partai untuk memenangi pemilu. Ikatan dengan pendukung menjadi penting sepanjang itu ada hubungannya dengan proses pemenangan pemilu. Ke mana arah pasar pemilih, ke sanalah partai diarahkan.
Pilihan dua logika
PKS tidak terlepas dari pergumulan itu. Pada awalnya, partai ini didirikan dengan logika representasi pendukung, terutama untuk mewadahi aspirasi politik kalangan aktivis gerakan dakwah kampus yang tersebar di kawasan urban.
Sebagai wadah politik gerakan dakwah, tingkah laku partai sangat diwarnai dengan tipe partai massa dengan menekankan pada konsistensi ideologis, membangun organisasi yang kuat dan menggelar sistem kaderisasi yang sistematis. Gerak partai juga disangga oleh basis pendukung utamanya, tentu saja berasal dari kelas menengah santri perkotaan. Dengan penekanan logika representasi ini, Partai Keadilan berhasil memperoleh 1,36 persen popular vote dan 1,51 persen kursi di parlemen nasional dalam Pemilu 1999.
Pasca-Pemilu 1999, terlihat mulai terjadi pergeseran di PKS, dari logika representasi pendukung ke arah logika kompetisi. Ketika persaingan antarpartai yang semakin ketat, di tengah penurunan suara dari partai-partai Islam, PKS muncul dengan wajah baru. Logika pasar politik menjadi sesuatu yang mulai dipertimbangkan. Kemasan mulai dipikirikan. Wajah partai sebagai partai dakwah ”dipoles” disesuaikan dengan ekspektasi dan aspirasi pemilih yang mulai merindukan partai yang bersih, kredibel, dan profesional.
Secara kalkulatif, tentu saja pilihan untuk mengubah citra partai menjadi berbeda merupakan pilihan yang rasional karena pilihan itu akan bisa memperluas basis pendukung. Konsekuensinya, karakter partai ideologis secara perlahan bergeser menjadi partai yang mulai sensitif pada pasar politik dengan cara memoderasi tuntutan transformasi ideologisnya dan mulai berusaha menjangkau pemilih di luar pendukung asalnya.
Ketika PKS lebih menekankan logika kompetisi membuat tipe partai politik mengarah pada tipe partai pemburu suara (vote seeking) atau sering juga disebut tipe catch-all party. Selanjutnya tipe pemburu suara akan berpengaruh pada tingkah laku partai, terutama pada model rekrutmen partai yang cenderung bergerak ke pola survival.