JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi I DPR Tubagus Hasanuddin menyatakan, isi dan substansi Rancangan Undang Undang tentang Intelijen Negara masih banyak mengundang perdebatan.
"Itu pandangan fraksi kami. Sebab, ada diktum yang menyebutkan, aparat intelijen yang notabene juga anggota Badan Intelijen Negara (BIN) itu bisa mengorganisasi aparat intel lainnya, termasuk satuan-satuan teritorial maupun unit di jajaran paling bawah," ungkap anggota Fraksi PDI Perjuangan itu di Jakarta, Jumat (4/6/2010).
Dia mengatakan hal itu, menjawab pertanyaan tentang masih banyak kekhawatiran publik mengenai kemungkinan kembalinya penerapan model intelijen di era orde baru (Orba) yang berpotensi membungkam pembangunan demokrasi di Tanah Air.
Tubagus Hasanuddin lalu menunjuk salah satu masalah yang masih mengundang perdebatan itu yakni ketika diberlakukan aturan aparat intelijen itu punya kewenangan menangkap seseorang.
"Maka ada dua hal yang langsung jadi sorotan publik. Pertama, ada pelanggaran di situ yakni pelanggaran HAM. Karena apa, kan tidak mungkin seorang aparat intel menangkap buruannya secara terbuka. Kalau petugas intel menangkap terbuka, kan bukan operasi intelijen namanya," ujarnya.
Masalah berikutnya, lanjutnya, ialah penangkapan itu sendiri, berdasarkan KUHAP, harus memenuhi sejumlah unsur.
"Yakni, penangkapan harus berlangsung secara terbuka, ada surat penangkapan, terus harus punya bukti awal , dan juga harus didampingi pengacara atau penasihat hukum," tegasnya.
Tubagus Hasanuddin menilai, kalau ketiga butir aturan hukum beracara itu diterapkan, berarti ini bukan operasi intelijen.
"Saya bukan ahli hukum, tapi, bagaimana hal ini bisa diberlakukan dalam operasi intelijen yang menganut cara kerja tertutup serta sangat dadakan," tanyanya.
Ia berpendapat, jika tiga prasyarat itu diberlakukan oleh aparat intelijen (tanpa surat penangkapan, tanpa bukti awal, tanpa pendampingan), apalagi dilakukan diam-diam, mengurung seseorang, maka hal itu sama dengan penculikan.
"Kalau ini (penculikan), kan berarti sama dengan memutar lagi kembali ke era Orba. Ini yang kami khawatirkan, begitu juga mayoritas publik," ungkapnya. Ada solusinya
Namun, menurutnya, Fraksi PDI Perjuangan bukan tidak setuju dengan RUU Intelijen Negara ini dibahas lebih lanjut kemudian diundangkan.
"Yang kami tidak setuju, tentang hal-hal teknis beracara. Tetapi solusinya ada. Misalnya menyangkut teroris, jika telah ditemukan atau ada bukti awal yang kuat, koordinasikan saja dengan Densus 88. Aparat dari institusi ini yang menyergap dan menangkapnya," katanya.
Kemudian, demikian Tubagus Hasanuddin, kalau ada kartel misalnya masalah narkoba yang bisa menghancurkan negara, juga segera koordinasikan dengan instansi mitra lainnya dalam hal penangkapan.
"Misalnya, koordinasi ’aja dengan BNN, sehingga biarlah Polisi yang mengurus narkoba dan yang menangkap pelaku atau sindikatnya, sehingga BIN tidak perlu ada kewenangan-kewenangan penangkapan seperti itu. Ini berlaku juga untuk operasi penangkapan teroris, separatis dan anasir-anasir lain yang membahayakan keutuhan negara serta mengancam kemanusiaan," ujarnya
Dalam kaitan ini, menurutnya, Fraksi PDI Perjuangan mengingatkan aparat intelijen agar jangan menangkap, dan segera lepas ego sektoral seperti dulu, tetapi menjalin kerja sama kuat dengan para mitra.
"Apalagi sekarang ini kan negara tidak dalam keadaan bahaya. Sekarang sudah cukup bagus, dan karenanya demokrasi harus dikawal dengan baik," kata Tubagus Hasanuddin.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.