Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Matinya Politik Pencitraan?

Kompas.com - 25/05/2010, 04:10 WIB

Ikrar Nusa Bhakti

Drama dua babak pemilihan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat pada Kongres II di Bandung, 23 Mei 2010, merupa- kan fenomena politik bersejarah yang menandai mulai pudarnya ”politik pencitraan”.

Itu juga menunjukkan betapa gaya ”kepemimpinan karismatik” ala Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mulai usang dan berganti dengan gaya ”kepemimpinan sistemik” yang lebih mengandalkan sistem jaringan internal partai seperti yang ditonjolkan Anas Urbaningrum.

Meski sesumbar telah mendapatkan dukungan dari keluarga Cikeas berikut beberapa menteri kabinet yang berasal dari Partai Demokrat (PD), pemasangan baliho besar di sudut Jembatan Semanggi, Jakarta, serta berbagai spanduk besar sepanjang Jalan Tol Cipularang dan di area Kongres II PD, Andi Mallarangeng ternyata tidak mampu meraih dukungan sig- nifikan menjadi ketua umum DPP PD.

Kekuatan jaringan yang dimiliki Anas Urbaningrum dan ”operasi kilat” yang amat masif Marzuki Alie tampaknya lebih berhasil ketimbang ”politik pencitraan” yang digunakan Andi Mallarangeng. Tragis memang, pada putaran pertama pemilihan Andi hanya mendapatkan 82 suara (16 persen), dibandingkan dengan Anas yang 236 suara (45 persen) dan Marzuki yang 209 suara (40 persen). Pada putaran kedua, alih suara dukungan dari Andi ke Marzuki juga tak mampu membendung jaringan kekuatan Anas yang akhirnya meraih 280 suara (53 persen) dibandingkan dengan Marzuki yang hanya memperoleh 248 suara (47 persen).

Gurauan politik pun serentak tersebar dari satu ponsel ke ponsel melalui pesan pendek. Ada yang bergurau, Andi salah strategi, memasang baliho besar di tempat yang sama dengan adiknya, Rizal Mallarangeng, saat ingin menjadi balon presiden 2009, yang juga gagal total.

Andi ibarat ”menggunakan meriam untuk membunuh nyamuk” melalui baliho dan iklan-iklannya yang aduhai mahalnya. Padahal, konstituen PD atau rakyat biasa tidak memiliki hak suara pada pemilihan ketua umum DPP PD tersebut, hanya elite-elite PD di pusat dan daerah yang berhak memberikan suaranya.

Kaya multi-interpretasi

Kemenangan Anas pada pemilihan ketua umum DPP PD memang menimbulkan interpretasi macam-macam. Ada yang menyebutnya sebagai kemenangan demokrasi internal di dalam PD sehingga SBY sebagai Ketua Dewan Pembina PD juga patut diberikan acungan jempol karena tidak memihak kepada salah satu calon dan membiarkan proses itu berlangsung secara demokratis, santun, tanpa politik uang dan aman.

Namun, penulis menginterpretasikan secara berbeda. Sejak awal SBY tampaknya sengaja memasang anak bungsunya, Ibas, mendampingi Andi agar aura karismatiknya dapat terpancar pada diri Andi. Pemanggilan Andi oleh SBY sehari sebelum Kongres II PD dapat dikonotasikan sebagai isyarat dukungan SBY kepada Andi. Upaya SBY untuk mengarahkan agar pemilihan dilakukan secara musyawarah dan mufakat (aklamasi) gagal total karena mayoritas menginginkan melalui voting.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com