Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terorisme dan Reformasi Intelijen

Kompas.com - 22/05/2010, 03:56 WIB

OLEH IVAN A HADAR

Dalam pernyataannya menjelang kunjungan kenegaraan ke Singapura dan Malaysia, Senin (17/5), Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menilai aksi teroris dalam sepuluh tahun terakhir sebagai upaya mendirikan negara Islam Indonesia.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) seperti memutar memori kelam perjalanan bangsa, khususnya yang terkait dengan upaya separatisme bersimbol keagamaan. Terjadi perubahan orientasi: sebelumnya sasaran teroris adalah pihak asing, demikian SBY, kini bangsa sendiri.

Sinyalemen itu menimbulkan reaksi dari berbagai pihak. Sebagian menuntut perluasan wewenang kepada intelijen dan polisi lewat revisi Undang-Undang (UU) Anti-terorisme, sebagian lain menilai pernyataan SBY hanyalah upaya mengalihkan perhatian dari masalah mendesak: penanganan korupsi dan kemiskinan. Ada pula yang menilai pernyataan tersebut sebagai isu klasik yang bertujuan memojokkan umat Islam. Politikus Mahfudz Siddiq dari Partai Keadilan Sejahtera bahkan menyebut sinyalemen SBY sebagai ”gegabah dan berlebihan”.

Selain itu, Kepolisian Negara RI khususnya Detasemen Khusus 88 Antiteror, yang cenderung menyamaratakan pola serta cara menangani teroris, seperti menembak mati, dinilai justru kontraproduktif. Bukankah jika tertangkap hidup, seorang terduga teroris bisa membeberkan informasi berharga demi kerja polisi (Kompas, 15/5/2010)?

Banyak yang sepakat bahwa dalam upaya penangkalan, kapasitas intelijen perlu ditingkatkan. Meski demikian, baik polisi maupun pihak intelijen kita tak perlu mencontoh pola penanganan teroris ala Amerika Serikat, terutama pada era George W Bush, yang ternyata kontraproduktif dalam usaha deradikalisasi untuk menghindari atau mengurangi kegiatan terorisme ke depan.

Cara Bush

Setelah serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon, pemerintahan George W Bush merilis The National Security Strategy of the USA yang oleh banyak pengamat dinilai memuat pembenaran teoretis dan politis bagi militerisme AS.

Bush berhasil menggalang dukungan luas ketika meloloskan UU yang berjudul Uniting and Strengthening America by Providing Appropriate Tools Required to Intercept and Obstruct Terrorism, disingkat sebagai USA PATRIOT. Sekadar dugaan, UU USA PATRIOT sudah cukup jadi dasar untuk membatasi hak sipil seseorang.

Tersangka pelaku tindakan terorisme, misalnya, bisa ditangkap selama enam bulan tanpa pengadilan. Tiada satu pun pengadilan yang bisa menolak hal ini, pun dengan mengacu pada prinsip praduga tak bersalah yang termaktub dalam Pasal 236A UUD AS. Tentu saja seseorang yang disangka teroris akan kehilangan hak memakai pembela dan mengetahui apa yang dituduhkan serta kehilangan kontak dengan keluarga.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com