Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sri Mulyani dalam Telaah Bourdieu

Kompas.com - 07/05/2010, 04:39 WIB

Konsep Bourdieu lainnya yang juga menarik untuk memahami fenomena Sri Mulyani adalah Doxa. Doxa merupakan keyakinan fundamental, mendalam, dan tanpa melalui proses pemikiran, dianggap sebagai terbukti secara universal, yang menginformasikan tindakan dan pemikiran agen di dalam ranah tertentu. Doxa cenderung memihak atau lebih menguntungkan tatanan sosial tertentu dan memberikan perlakuan istimewa pada agen dominan serta menganggap posisi dominan mereka sebagai sesuatu yang terbukti dengan sendirinya dan diinginkan secara universal.

Keyakinan fundamental Sri Mulyani terhadap neoliberalisme merupakan wujud Doxa yang jadi landasan kewajaran mengapa ia terpilih sebagai direktur Bank Dunia. Jika keyakinan akan neoliberalisme tak bersifat fundamental, kecil kemungkinan seorang ekonom dapat menduduki posisi penting di Bank Dunia. Pengalaman Joseph E Stiglitz jadi bukti bagaimana pentingnya Doxa neoliberalisme dalam institusi finansial internasional yang sangat berpengaruh itu.

Perasaan bangga tercurah dari berbagai lapisan masyarakat atas terpilihnya Sri Mulyani sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Namun, dalam pendekatan konseptual Bourdieu, ini bukan kebanggaan, tetapi lebih merupakan wujud kekerasan simbolik yang melanda masyarakat Indonesia.

Kekerasan simbolik adalah salah satu konsep penting yang dikembangkan Bourdieu. Maknanya terletak pada upaya aktor-aktor sosial dominan menerapkan suatu makna sosial dan representasi dari realitas yang diinternalisasikan aktor lain sebagai sesuatu yang alami dan absah. Kekerasan ini bahkan tak dirasakan sebagai suatu bentuk kekerasan sehingga dapat berjalan efektif dalam praktik dominasi sosial (Bourdieu, 1991).

Akarnya terletak pada konsep ”kesalahpengenalan” (misrecognition), yaitu kegagalan mengidentifikasi kepentingan ekonomi dan politik yang melekat dalam praktik yang ditampilkan sebagai ”bebas dari kepentingan” (Bourdieu, 1991). Kelompok sosial dominan di tingkat global berhasil menerapkan kekerasan simbolik pada masyarakat Indonesia. Terlepas kenaikan 36 persen angka kemiskinan dunia 1981-2001 sebagai imbas kebijakan restrukturisasi ekonomi ala Bank Dunia, lembaga ini tetap mendapatkan makna sosial positif.

Di sinilah kekerasan simbolik terjadi. Ketika kita bangga, kita jadi lupa nasib jutaan manusia yang jadi miskin sebagai imbas neoliberalisme Bank Dunia. Kepentingan yang melekat di dalamnya perlahan-lahan kabur dan hilang dari pandangan mata kita. Kekerasan tidak dirasakan sebagai kekerasan, yang menyedihkan justru jadi kebanggaan.

Dodi Mantra Dosen Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com