Jakarta, Kompas -
Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dari Fraksi Partai Golkar Harry Azhar Aziz di Jakarta, Jumat (2/4), menjelaskan, pemberian remunerasi tidak ada kaitannya dengan upaya menekan korupsi di instansi pemerintah. Remunerasi itu diberikan dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pegawai negeri sipil.
Hanya saja, mekanisme pemberian remunerasi harus dievaluasi. Misalnya, dengan menerapkan sistem peringatan dini untuk mempersempit celah bagi pegawai melakukan penyelewengan. Syarat serta konsekuensi pemberian remunerasi juga harus diperjelas.
”Misalnya, kalau remunerasi dinaikkan Rp 1, tingkat produktivitas pegawai harus ditingkatkan berapa persen. Untuk pegawai di instansi penghasil pendapatan, seperti Ditjen Pajak, kenaikan remunerasi diberikan dengan konsekuensi kenaikan target pendapatan,” tutur Harry.
Untuk diketahui, total anggaran belanja pegawai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2010 sekitar Rp 160 triliun. Jumlah tersebut naik sekitar Rp 20 triliun dari anggaran belanja pegawai tahun sebelumnya yang baru sekitar Rp 140 triliun. Kenaikan anggaran itu terjadi karena adanya kenaikan gaji pegawai sebesar 5 persen untuk menyesuaikan inflasi.
Rencananya, pemerintah akan mengajukan kenaikan anggaran belanja pegawai Rp 2 triliun dalam APBN Perubahan. ”Anggaran belanja pegawai itu di dalamnya ada dana untuk membayar remunerasi pegawai. Tetapi, kami tidak tahu persis berapa jumlahnya,” ujar Harry.
Dengan adanya kasus pegawai Ditjen Pajak, Gayus Tambunan, lanjut Bambang Soesatyo, anggota Badan Anggaran DPR dari Fraksi Partai Golkar, pihak DPR tentu akan lebih fokus mempersoalkan makelar kasus perpajakan tersebut. DPR juga akan mengevaluasi program remunerasi dengan dana APBN 2010 sebesar Rp 10,3 triliun.
”Ternyata, program remunerasi tidak menjamin aparat pajak dan aparat lain di Kementerian Keuangan menjalankan tugas dengan baik,” kata Bambang.(FER/NTA)