JAKARTA, KOMPAS.com — Perempuan memegang peranan penting dalam penghentian kekerasan dan penyelesaian konflik, terutama melalui cara informal di luar meja perundingan perdamaian atau soft power.
Namun, peran perempuan itu kurang diakui dan tidak mendapatkan perhatian sehingga penyelesaian konflik dan segala persoalan pascakonflik tidak tuntas terselesaikan. Padahal, keunggulan perempuan dalam menggunakan soft power itu terbukti lebih efektif.
Persoalan ini mengemuka dalam diskusi Perempuan pada Meja Perdamaian Indonesia: Meningkatkan Partisipasi Perempuan dalam Penyelesaian Konflik yang diselenggarakan Centre for Humanitarian Dialogue (HDC) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Rabu (24/3/2010) di Jakarta.
Direktur Regional Asia Tengah HDC Michael Vatikiotis mencontohkan kaum perempuan di Maluku yang berusaha menjembatani kesenjangan dan ketegangan antara komunitas Muslim dan Nasrani ketika terjadi konflik.
"Kaum perempuan justru lebih berani menerobos rintangan dengan tetap berjualan di pasar. Ada kesadaran, kehidupan harus berlanjut. Mereka berani menyatakan, konflik harus diakhiri," ujarnya.
Suster Brigitta dari Maluku menceritakan bahwa selama konflik di Maluku, kaum perempuan di tingkat akar rumput justru yang paling giat bergerak mendorong penghentian konflik, apalagi ketika masyarakat Maluku mulai terpecah.
"Sayangnya, perempuan tidak dilibatkan hingga ke meja perundingan formal. Saya minta keterlibatan perempuan di tingkat akar rumput ini dimediasi agar aspirasi mereka bisa sampai ke pusat. Peran mereka ini yang harus diakui," kata Brigitta.
Peran perempuan di tingkat akar rumput ini yang menurut Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Linda Amalia Sari harus disosialisasikan kepada masyarakat, terutama para penentu kebijakan, sehingga perempuan akan lebih banyak dilibatkan dalam proses penyelesaian konflik dan perdamaian. "Semangat perempuan ini penting karena perempuan dan anak paling rentan menjadi korban," kata Linda.
Dukungan politik
Pentingnya melibatkan perempuan pada proses finalisasi perundingan perdamaian, menurut Vatikiotis, karena perempuan akan lebih lihai dalam menyelesaikan berbagai persoalan pascakonflik, seperti isu tanah dan nasib pengungsi. Persoalan seperti itulah yang justru kerap tidak terselesaikan karena fokus perhatian yang hanya tertumpu pada penyelesaian konflik.
Apabila perempuan dilibatkan dalam proses perundingan sejak awal dan suara perempuan lebih didengarkan, maka persoalan pascakonflik akan lebih mudah diselesaikan. Jadi, peran perempuan diharapkan tidak hanya bisa membantu menyelesaikan konflik, tetapi juga membangun kembali masyarakat pascakonflik.
Vatikiotis juga mengingatkan jangan berharap pemerintah akan menyusun undang-undang yang akan memastikan setiap perempuan terlibat dalam proses perundingan perdamaian.
"Yang dibutuhkan justru dukungan politik. Karena itu, organisasi masyarakat harus lebih fokus pada pemberdayaan politikus atau mendekati para penentu kebijakan agar mereka tahu apa yang harus dilakukan. Peran DPRD dan DPR sangat penting," kata Vatikiotis.
Namun, menurut Presiden Liga Inong Aceh (LINA) Shadia Marhaban, suara perempuan Aceh akan sulit terdengar karena, meski memiliki kesadaran terhadap hak-hak mereka, sebagian besar sulit menerobos dinding masyarakat patriarki Aceh.
"Walaupun perempuan diundang untuk berpartisipasi dalam kancah politik, suara perempuan tetap tidak didengar karena perempuan harus mengikuti perintah dan pengawasan. Hanya sedikit kesempatan untuk mereka berbicara atas nama kepentingan perempuan," kata Shadia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.