Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Bung Sjahrir...

Kompas.com - 05/03/2010, 03:11 WIB

Sebagai rumah pusaka atau orang setempat menyebut rumah adat, rumah Sjahrir adalah satu dari 360 rumah lainnya dari Koto Gadang yang selalu dijaga pelestariannya. Rumah- rumah itu umumnya berbentuk panggung yang terbuat dari kayu meranti dan borneo dengan kualitas terjaga. Ruangannya, antara lain, beranda untuk menerima tamu, ruang tengah untuk keluarga, dan sejumlah bilik ruang makan, dapur, dan kamar mandi.

Rumah-rumah adat atau rumah gadang yang sebagian merupakan bagian dari harta pusaka beberapa keluarga atau kaum di wilayah Kanagarian Koto Gadang, hampir semuanya memang ditinggal pemiliknya. Hampir semua rumah antik ini terkunci rapat. Ada yang dijaga seorang warga setempat, tetapi umumnya mereka menempati paviliun yang letaknya berada di belakang rumah induk.

Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang Hajjah Heratina Mahzar mengatakan, Koto Gadang baru ramai setidaknya dua musim dalam setahun. Pertama, pada musim Tagak Datuak (pengangkatan atau penganugerahan gelar adat) setiap bulan Juli dan saat hari raya Idul Fitri. Di luar dua musim itu, Koto Gadang yang berhawa sejuk dan dihiasi pemandangan nan indah seperti lukisan tanpa bingkai kembali senyap. Terkunci, atau didiami orang-orang yang bahkan tidak terhitung sebagai kerabat dekat.

Heratina mengatakan, dirinya beserta anggota Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang sangat konsen untuk menjaga dan merehabilitasi rumah-rumah adat di wilayahnya. Rumah gadang yang sempat didiami Sutan Sjahrir telah diperbaiki bagian terasnya, setelah dilanda gempa bumi di Kabupaten Tanah Datar dan Bukittinggi pada tahun 2007.

Menurut Heratina, selama ini biaya perawatan atau perbaikan rumah kuno dan khas ini diambil dari hasil garapan lahan sawah yang jadi harta pusaka keluarga dan dana sumbangan dari para penduduk Koto Gadang yang jadi perantau dan mengirimkan uang. ”Kami tidak mau terbeli dengan dana pemerintah, jangan-jangan malah kami terusir dari rumah kami.”

Sebagaimana disebut Heratina dan juga Datuk Narayau, jiwa perantau yang mendaging dalam warga Koto Gadang, menunjukkan jiwa yang tidak ingin berkonfrontasi, tetapi lebih mengutamakan taktik pemikiran. Kenyataan ini yang kemudian disalahpahami oleh orang lain sehingga muncul anggapan orang Koto Gadang berkooperatif dengan Belanda. Memang ada cerita orang yang bekerja sebagai jongos orang Belanda, tetapi ternyata mereka lebih belajar untuk mandiri.

Namun, orang bisa melihat, apakah orang-orang seperti Sutan Sjahrir dan juga Haji Agus Salim, Rohana Kudus, serta Emil Salim, yang lahir dari kawasan ini, diragukan nasionalismenya? Tampaknya, inilah yang hendak dijaga Heratina dan warga Koto Gadang.

Dalam Karawang-Bekasi, salah satu sajak Chairil Anwar, tersurat kata:

Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir....

Rasanya, menjaga kehidupan Sjahrir tak hanya mengenang kehadiran putra bangsa pengukir sejarah Indonesia itu, tetapi juga menjaga kampung halamannya yang sarat dengan karya budaya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com