Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Tahun Kunjungan Museum

Kompas.com - 03/03/2010, 15:20 WIB

Selain itu, kebanyakan dari museum kita tidak menampilkan hal baru sehingga museum menjadi "tempat sekali kunjung". Karenanya, citra sepi yang melekat pada museum tidak akan berubah karena museum sendiri tidak mengubah apa pun. Pendekatan baru

Hal lain yang perlu dilihat adalah faktor eksternal, yakni dukungan pemerintah. Menurut saya, pemerintah masih berkutat pada paradigma kuno (konvensional) dalam mempromosikan museum untuk memantik minat berkunjung masyarakat. Belum lama ini diadakan rapat koordinasi antara pemerintah daerah dan pengelola museum di Yogyakarta untuk merespons TKM 2010. Di samping upaya ini boleh dibilang terlambat, lagi-lagi yang muncul gagasan lama mempromosikan museum.

Pendekatan kuno di situ adalah menetapkan kebijakan mengimbau dan mewajibkan siswa di tingkat sekolah dasar hingga menengah pertama berkunjung ke museum. Upaya atau komitmen ini dilakukan agar museum menjadi ramai pengunjung. Dalam konteks TKM 2010, program Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata terlaksana.

Dari sudut pandang tertentu, komitmen semacam ini problematis karena justru mengarah pada-meminjam istilah Michel Foucault (1979)- usaha "pendisiplinan" (baca: memaksa) para siswa untuk datang ke museum. Pendekatan ini tidak berimbas pada munculnya kesadaran akan pentingnya museum. Yang hadir justru rasa enggan, rasa keterpaksaan untuk "mencintai" museum. Jika mencintai museum menjadi tujuan, maka ia gagal. Mengingat program GNCM yang dilangsungkan dalam jangka waktu lima tahun, seharusnya pemerintah memaknai suksesnya GNCM bukan sebatas ramai atau tidaknya museum, melainkan lebih dari itu, yaitu menyadarkan museum tempat menimba ilmu pengetahuan.

Museum seharusnya bukan hanya dimengerti sebagai tempat bagi para siswa sekolah, melainkan bagi masyarakat umum. Menjadi penting menjawab tantangan, bagaimana caranya menempatkan museum sebagai "kebutuhan" masyarakat awam. Ketika museum menjadi kebutuhan, dengan sendirinya museum menjadi idola. Lebih jauh, ia akan menjadi ikon atau lambang sebuah kota, sebuah emblem citarasa (emblematic taste) kelas sosial tertentu layaknya ketika bertandang ke Museum Louvre di Paris atau American Museum of Natural History di New York.

Ketika problem internal dan eksternal itu dapat diatasi, stigma yang selama ini melekat di pikiran kita bahwa masyarakat cenderung enggan atau tidak menyukai museum akan runtuh. Saya yakin, masyarakat akan datang ke museum.

Di mata saya, program TKM 2010 ini bisa dibilang sangat kemrungsung karena tidak mempertimbangkan dengan hati-hati aspek kesiapan, kemampuan, hingga kondisi sebenarnya museum-museum di Yogyakarta.

Perlu dipikirkan cara pandang baru untuk memajukan museum dan menyukseskan TKM 2010 di Yogyakarta. Semoga saja. KHIDIR MARSANTO P Alumnus Antropologi UGM, Peneliti Museum di Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com