Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menyoal Tahun Kunjungan Museum

Kompas.com - 03/03/2010, 15:20 WIB

Oleh KHIDIR MARSANTO P

Tahun ini, International Council of Museums mencanangkan "Museum and Social Harmony" sebagai tema tahunan museum di dunia. Oktober mendatang, ICOM akan menyelenggarakan konferensi lima tahunan di Shanghai, China, bagi para delegasi museum puluhan negara untuk mempercanggih formulasi definisi museum yang ada. Hal ini dilakukan agar segenap aktivitas dunia permuseuman lima tahun ke depan lebih matang.

Indonesia, menurut saya, belum mampu mengikuti ritme jagat permuseuman di dunia. Namun, terobosan Asosiasi Museum Indonesia (AMI) bersama Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata menyelenggarakan program Tahun Kunjungan Museum (TKM) 2010 sebagai langkah awal program jangka panjang Gerakan Nasional Cinta Museum patut diapresiasi dan didukung.

Impian gagasan TKM 2010 adalah menempatkan museum-museum di Indonesia sebagai museum yang menjadi pilar aktivitas kebudayaan, kesenian, sejarah, maupun ilmu pengetahuan.

Dengan demikian, museum mampu bersanding dengan universitas dan menjadi mitra institusi pendidikan, kesenian, dan kebudayaan di berbagai tingkatan.

Bagaimana itu tercapai bila kondisi museum tidak berubah? Jangan- jangan TKM 2010 hanya bermaksud meramaikan museum yang selama ini lekat dengan citra sepi pengunjung, ataukah melalui program ini pemerintah akan membenahi museum kita agar layak kunjung? Lantas, bagaimana dengan museum-museum di Yogyakarta? Kuantitas atau kualitas?

Penelitian saya dua tahun lalu menunjukkan, secara historis, dibandingkan dengan kota lain kecuali Jakarta, Yogyakarta memang merupakan kota terproduktif dalam melahirkan museum baru. Sejak 1960 hingga 2008, rata-rata lima museum baru per dasawarsa dengan tiga klasifikasinya: pendidikan dan sains, sejarah dan perjuangan, serta seni dan kebudayaan.

Dengan demikian, tak mengherankan bila Yogyakarta memiliki lebih dari 30 museum. Hal ini kemudian menambah label Yogyakarta sebagai "kota museum".

Tidak diragukan, secara kuantitas, Yogyakarta mampu bertengger di papan atas. Dalam konteks TKM 2010, Yogyakarta sangat siap. Namun, hal terpenting bukan soal banyak-sedikitnya museum. Tuntutannya lebih pada kualitasnya. Di lapangan, saya melihat rendahnya kualitas museum pada aspek: pengelolaan institusional, layanan pemandu, dan kuratorial (tingkat kecanggihan metode dan teknik memamerkan koleksi).

Hooper-Greenhill dalam Museum, Media and Message (1995) berargumen, jaminan kualitas itulah yang dapat memantik orang datang ke museum secara otomatis, sekalipun tanpa promosi. Namun, ini pun belum cukup ketika diterapkan pada museum-museum kita. Masyarakat kita berbeda dengan masyarakat di Barat yang kebutuhan akan pengetahuannya tinggi. Karena itu, perlu dukungan promosi memadai dan tepat sasaran dengan desain serta pengemasan menarik.

Selain itu, kebanyakan dari museum kita tidak menampilkan hal baru sehingga museum menjadi "tempat sekali kunjung". Karenanya, citra sepi yang melekat pada museum tidak akan berubah karena museum sendiri tidak mengubah apa pun. Pendekatan baru

Hal lain yang perlu dilihat adalah faktor eksternal, yakni dukungan pemerintah. Menurut saya, pemerintah masih berkutat pada paradigma kuno (konvensional) dalam mempromosikan museum untuk memantik minat berkunjung masyarakat. Belum lama ini diadakan rapat koordinasi antara pemerintah daerah dan pengelola museum di Yogyakarta untuk merespons TKM 2010. Di samping upaya ini boleh dibilang terlambat, lagi-lagi yang muncul gagasan lama mempromosikan museum.

Pendekatan kuno di situ adalah menetapkan kebijakan mengimbau dan mewajibkan siswa di tingkat sekolah dasar hingga menengah pertama berkunjung ke museum. Upaya atau komitmen ini dilakukan agar museum menjadi ramai pengunjung. Dalam konteks TKM 2010, program Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata terlaksana.

Dari sudut pandang tertentu, komitmen semacam ini problematis karena justru mengarah pada-meminjam istilah Michel Foucault (1979)- usaha "pendisiplinan" (baca: memaksa) para siswa untuk datang ke museum. Pendekatan ini tidak berimbas pada munculnya kesadaran akan pentingnya museum. Yang hadir justru rasa enggan, rasa keterpaksaan untuk "mencintai" museum. Jika mencintai museum menjadi tujuan, maka ia gagal. Mengingat program GNCM yang dilangsungkan dalam jangka waktu lima tahun, seharusnya pemerintah memaknai suksesnya GNCM bukan sebatas ramai atau tidaknya museum, melainkan lebih dari itu, yaitu menyadarkan museum tempat menimba ilmu pengetahuan.

Museum seharusnya bukan hanya dimengerti sebagai tempat bagi para siswa sekolah, melainkan bagi masyarakat umum. Menjadi penting menjawab tantangan, bagaimana caranya menempatkan museum sebagai "kebutuhan" masyarakat awam. Ketika museum menjadi kebutuhan, dengan sendirinya museum menjadi idola. Lebih jauh, ia akan menjadi ikon atau lambang sebuah kota, sebuah emblem citarasa (emblematic taste) kelas sosial tertentu layaknya ketika bertandang ke Museum Louvre di Paris atau American Museum of Natural History di New York.

Ketika problem internal dan eksternal itu dapat diatasi, stigma yang selama ini melekat di pikiran kita bahwa masyarakat cenderung enggan atau tidak menyukai museum akan runtuh. Saya yakin, masyarakat akan datang ke museum.

Di mata saya, program TKM 2010 ini bisa dibilang sangat kemrungsung karena tidak mempertimbangkan dengan hati-hati aspek kesiapan, kemampuan, hingga kondisi sebenarnya museum-museum di Yogyakarta.

Perlu dipikirkan cara pandang baru untuk memajukan museum dan menyukseskan TKM 2010 di Yogyakarta. Semoga saja. KHIDIR MARSANTO P Alumnus Antropologi UGM, Peneliti Museum di Pusat Studi Pariwisata UGM Yogyakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com