JAKARTA, KOMPAS.com — Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan sinyal menyerahkan kelanjutan kasus dua pimpinan (nonaktif) KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, di tangan penegak hukum. Setidaknya, sinyal itu diungkapkan Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring tadi malam. Menurut Tifatul, Presiden tak ingin mengintervensi wilayah hukum di luar kewenangannya. Anggota Komisi III asal Fraksi PKS, Nasir Djamil, berpendapat sebaliknya.
Nasir mengatakan, Presiden bisa mengambil sikap atas kelanjutan kasus itu dan mempertimbangkan rekomendasi Tim Delapan dalam kapasitasnya sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan.
"Presiden itu kan kepala negara dan kepala pemerintahan. SBY tidak boleh terpengaruh, kalau dia meminta kepolisian dan kejaksaan agar kasus dihentikan bukan intervensi. Negara adalah organisasi tertinggi dari bangunan hukum. Karena negara organisasi tertinggi dari bangunan hukum, presiden punya diskresi untuk melihat ini," kata Nasir kepada Kompas.com, Minggu (22/11) malam.
Selain merupakan organisasi tertinggi dari bangunan hukum, negara, ujar Nasir, juga bangunan dari masyarakat. "Presiden sebagai kepala negara harus melihat negara sebagai bagian bangunan hukum, juga bangunan masyarakat. Aspirasi masyarakat minta kasus ini dihentikan. Presiden harus memerhatikan aspirasi ini," kata dia.
Kendati demikian, hak prerogatif mengambil keputusan ada di tangan Presiden. Namun, Nasir mengingatkan, setiap keputusan yang diambil Presiden, apalagi jika mengabaikan rekomendasi Tim Delapan, memiliki konsekuensi. Apakah jika diabaikan akan menimbulkan kekecewaan di masyarakat?
"Saya pikir masyarakat tidak kecewa karena terlalu sering dikecewakan. Hampir semua tokoh bangsa minta Presiden konsekuen, Tim Delapan kan bentukannya sendiri. Mereka sudah dapat fakta, mau diapakan? Tinggal Presiden berani atau tidak," ujar Nasir.
Terulur-ulurnya kasus ini salah satunya juga dinilai karena Presiden yang tak segera bersikap tegas mengambil keputusan. "Karakter Presiden seperti ini, sudah menjadi rahasia publik terkesan peragu, atau dalam bahasa dia (Presiden) sangat hati-hati," ujarnya.
Akan tetapi, sikap Presiden ini justru dipandang Nasir menunjukkan ada sesuatu yang besar di balik kasus ini dan berdampak besar dalam proses politik hukum di Indonesia. Presiden khawatir dengan dampak ini.
"Misalnya, kalau Presiden minta kasus ini di SP3, nanti kepolisian dan kejaksaan minta jangan ada reposisi, Ritonga (Wakil Jaksa Agung) minta diaktifkan. Pilihannya memang tidak mudah sehingga bagi Presiden paling aman ya ke pengadilan. Namun, dia justru dianggap plinplan dan tidak percaya diri untuk menggunakan kewenangannya," kata Nasir.
Ia melanjutkan, "Namun, memang bagi Presiden tidak jadi soal. Pemilu masih lama, bangsa ini mudah lupa, dan pemaaf, jadi menyerahkan semuanya pada waktu".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.