Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Muncul, Pendukung Polri

Kompas.com - 19/11/2009, 06:28 WIB
BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.comSejumlah aksi unjuk rasa menolak rekomendasi Tim Delapan berlangsung di Jakarta, Bandar Lampung, dan Medan, Rabu (18/11). Pengunjuk rasa di Lampung bahkan mengaku terus terang menjadi pendukung Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Sekitar seribu orang warga Lampung yang menyatakan diri dari Angkatan Muda Indonesia Bersatu dan Gerakan Masyarakat Bersatu menggelar unjuk rasa damai di Tugu Gajah, Bandar Lampung. Mereka mendukung polisi untuk terus menuntaskan kasus pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah.

Feri Antonius, Ketua Angkatan Muda Indonesia Bersatu, mengatakan, unjuk rasa damai itu merupakan tindakan untuk menyikapi dinamika yang terjadi akhir-akhir ini, yaitu masyarakat sudah dibuat bingung dengan adanya kasus antara beberapa oknum KPK dan Polri yang telah menimbulkan polemik.

Untuk menjaga aksi tersebut, Kepolisian Kota Besar Bandar Lampung mengerahkan mobil water canon, mobil armoured personnel carrier, serta puluhan personel dari Satuan Lalu Lintas dan Samapta.

Seperti di Lampung, ratusan orang yang tergabung dalam dua lembaga swadaya masyarakat di Sumatera Utara, yakni Forum Masyarakat Peduli Hukum Sumatera Utara (FMPH-SU) dan Keluarga Besar Sopir dan Pemilik Sumut, juga berunjuk rasa menolak rekomendasi Tim Delapan.

Kantor berita Antara melaporkan, dalam aksinya, para pengunjuk rasa menutup Jalan Gatot Subroto, Medan, atau kawasan Bundaran Majestik.

Koordinator FMPH-SU Madya Putra mengatakan, aksi melempar tomat dan membakar ban dengan membentuk angka delapan tersebut sebagai bentuk penolakan mereka terhadap rekomendasi yang diberikan Tim Delapan.

”Mereka (Tim Delapan) hanya sebuah tim, bukan penyidik dan penyelidik, sehingga tidak harus memutuskan. Sikap tegas kami adalah menolak rekomendasi Tim Delapan tersebut,” kata Madya.

Di Jakarta, ratusan orang dari beberapa elemen menggelar unjuk rasa dari Bundaran Hotel Indonesia hingga ke depan Istana Negara. Komite Pemuda Nusantara, misalnya, menolak hasil rekomendasi Tim Delapan yang mereka anggap tidak obyektif dan tidak netral.

Laskar Empati Pembela Bangsa dan Persaudaraan Pekerja Muslim Indonesia mendesak Presiden untuk menegakkan supremasi hukum. Mereka juga meminta rekomendasi Tim Delapan agar tidak dijadikan acuan oleh Presiden dalam menyelesaikan perseteruan KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung karena rekomendasi itu mereka anggap intervensi hukum.

Membenturkan masyarakat

Maraknya pengerahan massa dalam aksi saling dukung dalam perseteruan antara KPK dan kepolisian serta kejaksaan dinilai mulai mengkhawatirkan. Fenomena itu rentan menimbulkan gesekan massa dan memecah belah kesatuan bangsa.

Pendapat itu disampaikan Ketua Forum Rektor Indonesia Edy Suandi Hamid, Kepala Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia Yudi Latif, dan peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti.

”Munculnya unjuk rasa tandingan yang mendukung institusi tertentu ini sangat mudah dibaca. Ini menggambarkan adanya pihak yang frustrasi sehingga menggunakan pola-pola lama,” kata Edy.

Menurut Edy, hal ini akan semakin memperkeruh keadaan karena akan membenturkan sesama anggota masyarakat. ”Praktik adu domba ala Orde Baru ini merupakan langkah mundur,” kata dia.

Senada dengan Edy, Yudi Latif mengatakan, pengerahan massa ini merupakan cara yang berbahaya. ”Ini adalah upaya untuk menutupi kesalahan dengan kesalahan baru. Sama sekali tidak akan menyelesaikan masalah,” kata dia.

Yudi mengatakan, masyarakat saat ini sudah cerdas dan bisa membedakan mana unjuk rasa yang benar-benar muncul dari kesadaran kritis dan mana yang tandingan. ”Publik tak bisa dibohongi lagi dengan cara-cara lama seperti itu. Justru publik akan semakin curiga ada sesuatu lebih buruk yang disembunyikan dengan pengerahan massa itu,” kata dia.

Ikrar mengimbau agar elite yang berkuasa tak lagi mengalihkan persoalan di ranah hukum dan keadilan dengan menggunakan politik tingkat bawah. Pengerahan massa ini dinilai sangat berbahaya dan berpotensi memecah belah kesatuan bangsa.(ART/HLN/AIK)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com