Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengelola Keberagaman Indonesia

Kompas.com - 12/11/2009, 02:53 WIB

Prinsipnya, keadilan harus benar-benar terjadi, baik keadilan politik, keadilan hukum, keadilan politik, dan juga pemerataan pembangunan.

Di bidang hukum, selama ini penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, masih tebang pilih. Ada kesenjangan antargolongan dalam penegakan hukum di Indonesia. Seharusnya hukum itu berlaku sama bagi siapa pun.

Kemudian soal agama dan kepercayaan. Negara tidak perlu terlalu banyak intervensi terhadap hal-hal yang bersifat keagamaan. Biarlah urusan keagamaan itu diserahkan kepada tiap-tiap organisasi keagamaan. Kalau Islam, ya, serahkan saja kepada Muhammadiyah, NU (Nahdlatul Ulama), Nahdlatul Wathon, dan sebagainya. Kalau Kristen, ya, diserahkan kepada yang mumpuni, begitu pula Katolik diserahkan saja kepada lembaga-lembaga Katolik.

Negara harus memisahkan urusan pemerintahan dengan urusan agama. Sesat atau tidak sesat, itu bukan urusan negara. Tugas negara itu mengurus masalah pendidikan, kesejahteraan rakyat, dan penegakan hukum.

Lalu, bagaimana mengemas keberagaman agar tidak menjadi sumber konflik?

Keberagaman SARA harus dikelola sebagai kekayaan yang kondusif, dengan pemahaman inilah Indonesia yang sangat unik. Baik negara maupun masyarakat sendiri harus memahami serta menghormati perbedaan. Negara harus kembali pada filosofi Bhinneka Tunggal Ika. Negara harus menghormati perbedaan suku, agama, ras, adat, bahasa, dan perbedaan lainnya. Yang menyatukan adalah bahasa nasional, bendera, lagu kebangsaan, dan sebagainya.

Pemerintah jangan menyeragamkan sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan atau potensi lokal. Seperti menyamaratakan makanan pokok tiap-tiap daerah. Orang Ambon biasa makan sagu, ya biarlah seperti itu.

Kemudian soal kebudayaan yang berkembang, jangan sampai ada klaim budaya yang beradab dan tidak beradab. Misalnya, ada orang Dayak, orang Samin, dan Baduy yang dianggap tak beradab. Pertanyaannya kemudian, siapa yang dianggap beradab? Ternyata yang dianggap beradab adalah mereka yang dekat dengan rezim kekuasaan.

Tidak sepantasanya suku adat tertentu dianggap tidak beradab karena tidak mengikuti pola pikir pemerintah. Mereka bukan tidak beradab, tetapi punya sistem nilai sendiri. Perbedaan sistem nilai itu harus dihormati agar tidak memicu konflik.

Soal agama, pemerintah tidak perlu membuat dikotomi, agama resmi ataupun agama tidak resmi. Dikotomi itu akan menimbulkan gesekan di masyarakat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com