Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menunggu Ketegasan Presiden

Kompas.com - 11/11/2009, 04:49 WIB
 

JAKARTA, KOMPAS.com - Beragam fakta telah terungkap dalam kasus dugaan kriminalisasi unsur pimpinan (nonaktif) Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah, yang berujung pada rekomendasi dari Tim Delapan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Kini, tinggal ketegasan Presiden untuk membuat keputusan yang mampu memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Demikian rangkuman pendapat sejumlah kalangan yang ditemui secara terpisah, Selasa (10/11), menanggapi kelanjutan kasus dugaan kriminalisasi KPK.

Juru bicara Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Suhandoyo, menilai penyidikan terhadap Bibit dan Chandra harus dihentikan sesuai rekomendasi Tim Delapan. ”Itu langkah terbaik,” katanya.

Seperti diberitakan, Tim Delapan menyatakan, pasal yang digunakan untuk menjerat Bibit-Chandra lemah. Bukti dan keterangan yang dimiliki Kepolisian Negara RI (Polri) tidak cukup kuat untuk dibawa ke pengadilan.

Selain itu, Presiden juga harus memberikan peringatan kepada Kepala Polri Jenderal (Pol) Bambang Hendarso Danuri dan Jaksa Agung Hendarman Supandji. Bahkan, Akbar Faisal, anggota DPR dari Fraksi Partai Hanura, mengatakan, sebagai bentuk pertanggungjawaban moral pascarekomendasi Tim Delapan, Kepala Polri dan Jaksa Agung harus mundur dari jabatannya.

”Telah terjadinya kesalahan yang mendasar itu menunjukkan telah ada konspirasi besar dalam kasus Bibit dan Chandra. Sadapan KPK yang diputar di Mahkamah Konstitusi juga menunjukkan hal itu. Karena itu, mundur menjadi langkah paling terhormat,” papar Akbar.

Ahmad Muzani, Wakil Ketua Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, menambahkan, ketidakpercayaan masyarakat terhadap kepolisian dan kejaksaan akan meningkat jika penyidikan kasus Bibit dan Chandra tetap diteruskan.

Secara terpisah, Hendarman Supandji mengatakan akan mundur jika terbukti menyuruh anak buahnya atau pihak lain untuk memeras atau menerima suap. ”Saya tidak mengenal Ary Muladi dan Anggodo,” ujarnya.

Bumerang

Pakar hukum dari Universitas Brawijaya, Ibnu Tricahyo, juga mengatakan, Presiden harus mengindahkan rekomendasi Tim Delapan. Jika tidak, akan menjadi bumerang bagi dirinya, berupa merosotnya kepercayaan masyarakat.

Hal senada disampaikan pengamat politik dari Universitas Airlangga, Katjung Maridjan. ”Kalau aparat penegak hukum tidak memedulikan hasil rekomendasi Tim Delapan, kepercayaan publik terhadap mereka, termasuk kepada Yudhoyono, akan menurun,” ujarnya.

Menurut Ibnu, Tim Delapan mendapat kepercayaan besar dari masyarakat karena dari kinerjanya yang independen, berani, dan gigih dalam melakukan upaya verifikasi. ”Tim itu tugasnya membantu Presiden. Jadi jangan diabaikan,” katanya.

Evaluasi kepolisian

Presiden Yudhoyono juga dinilai perlu segera mengevaluasi Kepala Polri sampai jajaran jenderal bintang tiga di kepolisian yang dinilai telah memaksakan proses penyidikan dan penahanan. ”Tanpa mengecilkan jasa Kapolri yang sudah berhasil memberantas terorisme, penyegaran perlu dilakukan. Soalnya, dampak dari persoalan ini meluas,” kata penggagas Tim Penanggulangan Korupsi Dewan Perwakilan Daerah, I Wayan Sudirta, kepada pers, Selasa.

Sebagai bekas advokat, Wayan mengingatkan bahwa kasus ini sesungguhnya merupakan fenomena gunung es karena kasus serupa juga banyak terjadi. Hanya saja, karena yang dirugikan bukan tokoh masyarakat, hal itu tidak terekspos luas.

”Momentum ini jangan dilewatkan, tetapi harus dimanfaatkan Presiden Yudhoyono untuk memberantas makelar kasus dalam program seratus harinya,” ujarnya.

Sudah optimal

Ketua Tim Delapan (Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Hukum atas Kasus Pimpinan KPK) Adnan Buyung Nasution kepada Kompas, Selasa malam di Gedung Dewan Pertimbangan Presiden, Jakarta, mengatakan, sikap Presiden yang hanya menyerahkan rekomendasi sementara Tim Delapan kepada Polri dan Kejaksaan Agung untuk masukan dan pertimbangan dinilai sudah cukup optimal.

”Saya kira sudah optimal karena Presiden menghadapi masalah besar. Di satu sisi Polri meyakini ini sudah pemerasan, begitu juga Kejaksaan Agung juga sudah apriori dan menilai kasus tersebut sudah cukup bukti. Padahal, waktu itu belum digelar perkara. Jadi, sikap Presiden itu sudah optimal untuk tidak terlalu jauh mencampuri,” ujarnya.

Menurut Buyung, kini Polri dan Kejaksaan Agung yang justru harus lebih berani mengambil sikap lebih optimal lagi sesuai dengan kewenangannya.

Hal senada disampaikan anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis. ”Presiden memang tidak mungkin melakukan intervensi lebih jauh. Presiden yang jelas sudah berkomunikasi dengan Polri dan Jaksa Agung. Kalau Jaksa Agung mengembalikan kasus ini, ini sudah arif,” ujarnya.

”Sekarang bolanya ada di Polri. Polisi yang akan menentukan,” kata Todung.

Menggelitik

Mengenai hasil pertemuan tim dengan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), Todung Mulya mengatakan, ”Kami pertanyakan kok ada inisiatif dari kepolisian untuk ikut memfasilitasi perlindungan saksi yang dilakukan LPSK? Ini pertanyaan yang menggelitik kami dan menimbulkan tanda tanya ada apa di balik ini.”

”Sangat mungkin di balik ini saya melihat adanya makelar kasus, mafia hukum yang justru kita ingin berantas. Jadi, kita akan mendapatkan gambaran yang lebih lengkap lagi dalam menyusun rekomendasi,” ujar Todung. (NTA/ANO/SUT/NWO/HAR)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 9 Mei 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Ganjar Kembali Tegaskan Tak Akan Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran

Nasional
Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Kultur Senioritas Sekolah Kedinasan Patut Disetop Buat Putus Rantai Kekerasan

Nasional
Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Kekerasan Berdalih Disiplin dan Pembinaan Fisik di Sekolah Kedinasan Dianggap Tak Relevan

Nasional
Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Kekerasan di STIP Wujud Transformasi Setengah Hati Sekolah Kedinasan

Nasional
Ganjar Bubarkan TPN

Ganjar Bubarkan TPN

Nasional
BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

BNPB: 13 Orang Meninggal akibat Banjir dan Longsor di Sulsel, 2 dalam Pencarian

Nasional
TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

TNI AU Siagakan Helikopter Caracal Bantu Korban Banjir dan Longsor di Luwu

Nasional
Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong 'Presidential Club'

Prabowo Diharapkan Beri Solusi Kuliah Mahal dan Harga Beras daripada Dorong "Presidential Club"

Nasional
Ide 'Presidential Club' Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Ide "Presidential Club" Dianggap Sulit Satukan Semua Presiden

Nasional
Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Halal Bihalal, Ganjar-Mahfud dan Elite TPN Kumpul di Posko Teuku Umar

Nasional
Pro-Kontra 'Presidential Club', Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Pro-Kontra "Presidential Club", Gagasan Prabowo yang Dinilai Cemerlang, tapi Tumpang Tindih

Nasional
Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Evaluasi Mudik, Pembayaran Tol Nirsentuh Disiapkan untuk Hindari Kemacetan

Nasional
Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Polri: Fredy Pratama Masih Gencar Suplai Bahan Narkoba Karena Kehabisan Modal

Nasional
SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

SYL Ungkit Kementan Dapat Penghargaan dari KPK Empat Kali di Depan Hakim

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com