PADANG, KOMPAS.com - Sosiolog dari Universitas Andalas (Unand) Padang, Prof Dr Damsar menilai, Komisi III DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Kapolri "melawan" kehendak rakyat terkait kasus yang menimpa Bibit-Chandra, pimpinan KPK nonaktif.
"Tampaknya elite politik di Komisi III tidak pro kepada rasa keadilan rakyat. Itulah sikap yang ditunjukkan para elite politik dalam rapat dengan Kapolri, Kamis malam," kata Damsar, di Padang, Jumat (6/11).
Dosen sosiologi politik Unand itu juga mempersoalkan tidak fair-nya antara rapat kerja dengan pimpinan KPK yang digelar tertutup, dengan rapat dengan Kapolri yang terbuka.
"Kenapa kesannya tidak balance, kenapa rapat dengan Kapolri saja yang terbuka, dengan KPK tertutup," kata Ketua Program Studi Administrasi Negara Unand itu.
Sangat disayangkan, kata Damsar, elite rakyat yang seharusnya menyuarakan rasa keadilan rakyat justru mengambil posisi yang berlawanan dengan aspirasi dan rasa keadilan rakyat.
Menurut Damsar, rakyat sebenarnya punya metode hukum sendiri dalam menyikapi berbagai realitas yang terjadi.
Dalam kasus yang menimpa pimpinan KPK nonaktif misalnya, rekaman KPK yang diperdengarkan di Mahkamah Konstitusi (MK), telah dipandang sebagai kebenaran.
"Masyarakat mempertanyakan kenapa Anggodo yang sudah ’mengobok-obok’ hukum justru dibiarkan bebas," kata dia.
Dengan kejadian seperti itu, rasa keadilan masyarakat benar-benar tercabik-cabik karena adanya perlakuan yang tidak fair.
Menurut Damsar, Bibit-Chandra yang sudah diperlakukan tidak adil, melaporkan kasusnya ke MK karena institusi tempatnya bernaung dikriminalisasi sebuah dugaan rekayasa hukum.
Sejatinya, kata dia, Komisi III DPR juga memberikan ruang keadilan bagi setiap mereka yang mencari keadilan, termasuk KPK.
Damsar mengkhawatirkan kasus KPK menjadi starting point bagi munculnya people power seperti kasus 1998. Kasus 1998 terjadi karena DPR menutup mata dan telinganya terhadap aspirasi rakyat.