Urgensi mempertahankan setidaknya 50 persen posisi menteri adalah dalam rangka kontinuitas kerja dan kinerja pemerintah itu sendiri. Apalagi ini bukan pemerintah baru, tetapi pemerintah yang dipercaya kembali untuk masa jabatan periode kedua. Melalui pengangkatan kembali separuh menteri KIB pada jabatan yang sama, Presiden Yudhoyono sebenarnya bisa memacu kinerja kabinet lebih cepat seperti diharapkan.
Konsekuensi logis dari formasi KIB jilid II adalah bahwa sebagian besar menteri harus bekerja mulai dari nol kembali. Sebagian menteri yang belum berpengalaman dalam pemerintahan, apa boleh buat, memerlukan waktu cukup lama untuk mengenali bidang tugas dan mengidentifikasi problematik, sebelum ”tancap gas” seperti harapan Yudhoyono melalui program kerja 100 hari pertama Kabinet Indonesia Bersatu II.
Risiko pilihan politik
Barangkali, itulah risiko pilihan politik Presiden Yudhoyono yang membentuk kabinet atas dasar pertukaran kesempatan para elite parpol. Masalahnya, kuat sekali kesan bahwa posisi kementerian tertentu seolah merupakan ”jatah” parpol tertentu sehingga prinsip orang yang tepat di tempat yang sesuai, seperti berulang kali dipidatokan Yudhoyono, ternyata dilanggar sendiri.
Mungkin inilah risiko pilihan Presiden Yudhoyono yang tak kunjung berani menghindar dari perangkap oligarki parpol yang mulai mengancam masa depan demokrasi di Tanah Air. Betapa tidak, dengan dukungan 75,5 persen basis politik enam parpol koalisi di DPR, pemerintahan Yudhoyono tak hanya berpotensi kolutif, tetapi juga berpeluang ”terpenjara” oleh kepentingan para politisi. Konsekuensi logisnya, efektivitas pemerintahan hasil Pemilu 2009 jelas menjadi taruhan mahal bagi Yudhoyono.
Apabila kecenderungan itu menjadi kenyataan, tidak ada pilihan lain bagi segenap elemen masyarakat sipil kecuali turut serta mengawal kerja kabinet dan pemerintahan Yudhoyono. Masa depan demokrasi dan negeri ini tampaknya belum waktunya diserahkan sepenuhnya kepada parpol dan para politisi.
Terlalu besar risiko bagi bangsa ini jika mandat rakyat dipertukarkan sekadar sebagai voucer atau ”bukti utang” bagi elite politik dalam meraih kesempatan dan merebut kekuasaan.
Syamsuddin Haris
Profesor Riset Ilmu Politik LIPI