Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Batik Indonesia Beda dengan Malaysia dan China

Kompas.com - 01/10/2009, 02:48 WIB

SURABAYA, KOMPAS.com--Batik Indonesia berbeda dengan milik Malaysia dan China, karena negara ini memiliki ciri khas yang tidak dimiliki negara lain.

"Batik asli Indonesia bukan produksi pabrikan (printing/kain bermotif batik). Selama ini, batik khas nasional diproses secara tulis atau dikenal dengan sebutan batik tulis. Adapula batik cap yang juga termasuk batik khas Indonesia," kata Ketua Asosiasi Tenun, Batik, dan Bordir Jawa Timur, Erwin Sosrokusumo, saat ditemui di kantornya, di Surabaya, Rabu.

Menurut dia, sebenarnya batik Indonesia sudah dikenal bangsa lain sejak zaman Kerajaan Jenggala, Airlangga, dan Majapahit. Namun, saat itu bahan utamanya didatangkan dari China. Penyebabnya, kain sebagai bahan dasar membatik sulit diperoleh di Indonesia.

"Untuk itu, batik memang harus diklaim oleh negara ini dan bukan negara lain yang mengaku-aku," ujarnya.

Sementara itu, ia menjelaskan, pengakuan "United Nation Educational Scientific and Cultural Organization" (UNESCO) organisasi yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terhadap batik negeri ini pada 2 Oktober 2009, adalah peluang utama mempertahankan kebudayaan bangsa.

"Apalagi, selama ini batik Indonesia sudah memiliki pasar di berbagai negara di dunia seperti di sejumlah negara Eropa dan Asia," katanya.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Bidang Perdagangan Dalam Negeri, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jawa Timur, Arifin T. Hariadi, merasa bangga karena batik sebagai warisan nenek moyang Indonesia bisa memperoleh pengakuan internasional.

"Kebanggaan ini wajib disyukuri dan didukung secara penuh oleh seluruh masyarakat Indonesia," katanya.

Ia mencontohkan, bisa dengan menyebarluaskan penggunaan batik di Indonesia, terutama di provinsi ini. Di Jatim, hal tersebut bisa dioptimalkan dengan menggalakan program Penggunaan Pemakaian Produk Dalam negeri (P3DN).

"Semisal, memakai batik sebagai seragam pegawai negeri sipil (PNS)," ujarnya.

Di sisi lain, ia menyatakan, kerajinan batik Indonesia sudah sepantasnya diangkat menjadi warisan budaya dunia. Untuk itu, bangsa Indonesia tidak perlu khwatir jika negara lain mengakui batik menjadi miliknya.

"Klaim yang dilakukan Malaysia dan China. Keduanya sama-sama memproduksi batik, tetapi produk itu bukan batik sebenarnya alias `printing` (kain bermotif batik produksi pabrik). Kami bersyukur konsep batik kita sulit ditiru karena memiliki ciri khas tertentu," katanya.

Selain Malaysia dan China, ia mengaku, sebenarnya batik "printing" bisa diproduksi oleh beberapa negara di dunia. Asal mempunyai alat yang canggih dan modal besar, mereka (negara produsen batik) mampu memproduksi batik hingga ratusan juta unit dan dipasarkan di berbagai negara.

Ketika batik Indonesia sudah resmi menjadi warisan budaya internasional, ke depan, pihaknya mengimbau seluruh lapisan masyarakat di Indonesia, khususnya Jatim supaya lebih mencintai produk batik dan produk dalam negeri.

"Contohnya, masyarakat dapat mengenakan pakaian batik atau bahan batik dalam kehidupan sehari-hari. Minimal mereka berkenan memakai batik satu kali dalam seminggu," katanya.

Apabila hal tersebut bisa direalisasikan secepatnya, ia optimistis, pertumbuhan angka penjualan perajin batik baik Industri Kecil Menengah (IKM) dan Usaha Kecil Menengah (UKM) kian meningkat.

"Sampai sekarang, di provinsi ini ada 191 sentra IKM. Sementara di sektor batik dan bordir ada 5.926 unit. Secara total, penyerapan tenaga kerja di keduanya sekitar 21.000 pekerja," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com