Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebuah Kisah tentang Korupsi

Kompas.com - 26/09/2009, 05:28 WIB
 

Budiman Tanuredjo

KOMPAS.com - Penggalan puisi itu dibawakan Budi Darma, seorang sastrawan, dalam diskusi di harian Kompas tahun 2003, di mana saya ikut hadir. Diterangkanlah makna puisi itu bahwa untuk menjadi hulubalang waktu itu, seseorang harus berani menjarah. Dan untuk mempertahankan jabatannya, orang itu harus berani menjarah, menjarah uang negara dan menjarah uang rakyat.

Melacak jejak korupsi di bumi Nusantara juga bisa dilihat dalam penuturan Budi Darma ke masa kolonial. Ia mengutip pengakuan Nicolaas Engelhard, Gubernur Pantai Timur Laut Jawa, dalam memorinya 15 April 1805. Berdasarkan pengisahan Dukut Imam Widodo, penulis buku Soerabaia Tempo Doeloe, Engelhard kaya raya karena sogokan orang pribumi yang menginginkan jabatan. Engelhard tinggal memilih upeti terbesar untuk menentukan siapa yang layak diberi jabatan.

Pendapat bahwa korupsi menjadi bagian dari keseharian menimbulkan silang pendapat. Ada yang menolak, tetapi ada pula yang mendukung. Wakil Presiden Mohammad Hatta termasuk yang mendukung pendapat korupsi telah menjadi bagian dari keseharian kita. ”Korupsi di Indonesia telah menjadi bagian dari kebudayaan,” kata Hatta (Jurnal Aksara, Tempo, 19 Februari 2001).

Penulis buku yang populer di Indonesia, Samuel P Huntington, mengaitkan antara budaya dan korupsi. Bersama Lawrence E Harrison dalam buku Culture Matters: How Values Shape Progress (2000), Huntington menulis, ”... Di antara yang paling korup adalah Indonesia, Rusia, dan beberapa negara Amerika Latin dan Afrika....”

Huntington menulis, korupsi paling rendah di negara Eropa bagian utara dan persemakmuran Inggris yang Protestan. Negara penganut Konghucu kebanyakan berada di tengah-tengah. Tapi Huntington mengecualikan Singapura sebagai negara yang bersih sejajar dengan Denmark, Swedia, dan Finlandia. ”Anomali Singapura adalah kepemimpinan Lee Kuan Yew,” tulis Huntington.

Di Indonesia, ada keinginan kuat memberantas korupsi, tetapi ada juga yang sebenarnya ingin tetap mempertahankan tata hubungan sosial yang korup. Namun nyatanya, kekuasaan Orde Baru berakhir karena korupsi. Era reformasi datang. Di jalan-jalan dan di ruang sidang parlemen, 10 tahun lalu, terdengar teriakan, ”Hukum mati koruptor!” Perlu aturan soal pembuktian terbalik! Dari gedung MPR lahir Ketetapan MPR No XI/1998 yang salah satunya meminta pengusutan terhadap koruptor dan mewajibkan penyelenggara negara melaporkan kekayaan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lahir sebagai anak kandung reformasi.

Kehadiran KPK amat diharapkan. KPK lahir karena ada ketidakpercayaan kepada lembaga penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK menggebrak. Ada mantan Kepala Polri diadili, ada politisi tertangkap basah, ada jaksa tertangkap tangan sedang memperdagangkan perkara. Jurus KPK membuat banyak pihak jengah. Namun, indeks korupsi Indonesia membaik. Pemberantasan korupsi adalah pencapaian signifikan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.

Namun, karena gebrakan KPK itu pulalah, KPK kini menjadi musuh bersama. Ia diserang. Pengadilan korupsi dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi sampai 19 Desember 2009. DPR dan pemerintah berkewajiban memberikan landasan hukum soal pengadilan korupsi. Namun, alih-alih memperkuat eksistensi Pengadilan korupsi, politisi DPR dengan dalih ”menata sistem” malah berniat mengamputasi kewenangan KPK, melucuti kewenangan penuntutan.

Teriakan hukum mati koruptor tak lagi terdengar. Dari Senayan kini malah terdengar teriakan, ”Kembalikan kewenangan penuntutan kepada kejaksaan”. ”Penyadapan harus izin ketua pengadilan”. ”Janganlah KPK merasa paling jujur”.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Gerindra: Prabowo Tak Berhalangan untuk Menemui Lawan Politik

Nasional
Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Komisi I DPR Panggil Menkominfo dan BSSN Besok, Tuntut Penjelasan soal PDN Diserang

Nasional
Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Satgas Pemberantasan Judi Online Tak Langsung Sasar Bandar, Prioritaskan Pencegahan

Nasional
Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2929 Mulai Dibuka

Pendaftaran Capim dan Dewas KPK 2024-2929 Mulai Dibuka

Nasional
PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi 'Online'

PKK sampai Karang Taruna Dilibatkan Buat Perangi Judi "Online"

Nasional
4 Bandar Besar Judi 'Online' di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

4 Bandar Besar Judi "Online" di Dalam Negeri Sudah Terdeteksi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

[POPULER NASIONAL] Pertemuan Presiden PKS dan Ketum Nasdem Sebelum Usung Sohibul | 3 Anak Yusril Jadi Petinggi PBB

Nasional
Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 29 Juni 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Belajar dari Peretasan PDN, Pemerintah Ingin Bangun Transformasi Digital yang Aman dan Kuat

Nasional
Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Perubahan Konstruksi Tol MBZ dari Beton ke Baja Disebut Disetujui Menteri PUPR

Nasional
Ketua RT di Kasus 'Vina Cirebon' Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Ketua RT di Kasus "Vina Cirebon" Dilaporkan ke Bareskrim Terkait Dugaan Keterangan Palsu

Nasional
Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Kongkalikong Pengadaan Truk, Eks Sestama Basarnas Jadi Tersangka

Nasional
PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

PKS Klaim Ridwan Kamil Ajak Berkoalisi di Pilkada Jabar

Nasional
Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Eks Pejabat Basarnas Pakai Uang Korupsi Rp 2,5 M untuk Beli Ikan Hias dan Kebutuhan Pribadi

Nasional
Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Penyerang PDN Minta Tebusan Rp 131 Miliar, Wamenkominfo: Kita Tidak Gampang Ditakut-takuti

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com