JAKARTA, KOMPAS.com — Pelibatan Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam penanganan terorisme dibolehkan sepanjang memang sudah disetujui oleh pemerintah dalam bentuk sebuah keputusan politik yang konkret. Namun, keputusan politik yang disusun itu diakui tidak selalu diikuti dengan adanya keleluasaan waktu. Dengan begitu, keputusan politik yang dibuat sebagai dasar pelibatan TNI menangani terorisme bentuknya bisa bermacam-macam.
Dalam konteks ancaman atau situasi yang dapat diprediksi terjadi, keputusan politik yang dibuat bisa secara rinci dan bahkan dikonsultasikan atau disetujui oleh legislatif. Sementara dalam situasi tertentu atau dalam kegentingan yang memaksa presiden bisa saja menginstruksikan TNI secara lisan, apalagi jika derajat atau gradasi ancaman terbilang tinggi.
Hal itu disampaikan dosen Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UI, Edy Prasetyono, Selasa (24/8). "Jadi sah-sah saja kekuatan TNI digunakan sepanjang sudah ada keputusan politik. Bahkan kalaupun diinstruksikan lisan, nanti pasti ada catatan tertulisnya. Jangan dibayangkan harus berbentuk Peraturan Pemerintah karena prosesnya terbilang lama, sementara kita tidak tahu perkembangan ancaman di luar sana," ujar Edy.
Menurut Edy, bentuk pelibatan TNI dalam menangani terorisme bisa dilakukan dalam dua cara, intelijen dan penindakan. Cara pertama lebih terfokus pada upaya pengumpulan informasi intelijen untuk peringatan dini (early warning). Peran intelijen diingatkan pula tidak dalam konteks ikut berperan dalam upaya penegakan hukum macam melakukan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai. Mereka sekadar berkoordinasi untuk memberi masukan informasi untuk proses pengambilan keputusan berikut.
Sedangkan cara kedua, penindakan, dapat dilakukan dalam dua model, Bawah Kendali Operasi (BKO) dan Alih Kendali Operasi. Pilihan model penindakan yang akan diambil nantinya disesuaikan derajat dan bentuk ancaman yang ada. Dalam model pertama (BKO), posisi dan peran TNI lebih untuk membantu Kepolisian RI. Diasumsikan, hal itu dilakukan dalam konteks terdapat ancaman terhadap keamanan dan ketertiban masyarakat (Kamtibmas). Dalam kondisi tersebut TNI hanya bisa bergerak jika diminta Polri.
Namun persoalannya, tambah Edy, tidak jelas kapan atau pada kondisi seperti apa Polri akan merasa perlu untuk meminta bantuan TNI, apalagi ancaman yang ada masih dalam konteks Kamtibmas dan yang diperlukan adalah pendekatan penegakan hukum. Sedangkan dalam model kedua, TNI bisa saja mengambil alih komando operasi pada saat ancaman yang terjadi sudah lebih tinggi dari sekadar ancaman terhadap Kamtibmas. Operasi yang digelar pun lebih berbentuk operasi militer. "Kondisinya misalkan ada banyak orang disandera pihak teroris di pesawat, istana negara, atau di suatu tempat. Tidak cukup lagi pendekatan Kamtibmas untuk menangani hal itu, operasi militer harus digelar tetap dengan terlebih dahulu keputusan politik dari pemerintah," ujar Edy.
Lebih lanjut Edy sepakat soal perlunya keputusan politik tentang pelibatan TNI, yang tujuannya justru untuk melindungi dan memberi kepastian bagi TNI untuk bergerak. Cuma dia mengingatkan presiden tidak bisa memberi perintah hanya melalui pernyataan-pernyataan. "Kalau instruksi kan ada implikasi politiknya. Sedangkan kalau cuma pernyataan-pernyataan saja ya, tidak bisa begitu. Pernyataan di beberapa kesempatan soal perlunya TNI dilibatkan bukanlah bentuk instruksi (resmi)," ujar Edy.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.