JAKARTA, KOMPAS.com — Staf Ahli Menteri Pertahanan Bidang Ideologi dan Politik Agus Broto menyatakan, pemerintah berjanji akan mengubah ketentuan dalam pasal-pasal terkait sanksi pidana pelanggaran atau pembocoran rahasia negara, baik terhadap individu maupun korporasi. Perubahan tersebut, menurut Agus, lantaran pihaknya tidak ingin dinilai mau mengancam dan merugikan kalangan masyarakat sipil, seperti fungsi kontrol media massa dan kebebasan pers (wartawan) demi terselenggaranya pemerintahan yang bersih, transparan, serta akuntabel.
Menurut Agus, Senin (24/8), aturan dalam Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara akan tetap menyerap masukan dan aspirasi masyarakat yang masuk akal. Hal itu, menurutnya, jauh lebih baik dilakukan daripada setelah disahkan aturan yang mereka buat malah dibatalkan Mahkamah Konstitusi. "Setiap kali ada aspirasi yang masuk akal kami tidak ada ruginya untuk mengubah ketentuan dalam RUU Rahasia Negara ini daripada kami nanti malu, begitu disahkan ternyata aturan itu langsung dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi," ujar Agus di sela-sela pembahasan Panitia Kerja RUU Rahasia Negara.
Panitia Kerja RUU Rahasia Negara kembali menggelar pembahasan di Komisi I setelah minggu lalu menggelar pembahasan intensif selama tiga hari, 18-20 Agustus, di Wisma DPR di Kopo, Puncak, Jawa Barat. Seperti diwartakan sebelumnya, rancangan perundang-undangan tentang rahasia negara ini banyak menuai sorotan dan kontroversi dari banyak kalangan, terutama akibat ancaman hukumannya yang berat. Rentang hukuman pidana penjara yang diatur dalam RUU itu beragam antara lima hingga 20 tahun dan bahkan hukuman mati bagi pelanggaran yang terjadi dalam kondisi perang.
Selain itu juga ada hukuman denda yang besarannya Rp 250 juta-Rp 100 miliar (Bab IX, Pasal 42-49). Bahkan dalam Pasal 49 secara spesifik pelanggaran yang dilakukan oleh korporasi, ancaman hukumannya ditambah lagi dengan hukuman menjadikan korporasi tersebut sebagai korporasi di bawah pengawasan, dibekukan, atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang.
"Sepanjang Anda, misalnya, memperoleh bocoran rahasia negara tanpa dilakukan dengan tindakan-tindakan yang melawan hukum, kami akan upayakan Anda tidak perlu ditahan. Selain itu soal ancaman untuk korporasi, kami akan hilangkan ancaman hukuman yang bisa menutup perusahaan," ujar Agus.
Agus mengakui selama ini pemerintah memang tidak memikirkan dampak dari hukuman pidana yang diatur dalam RUU tersebut. Menurutnya, tidak ada niat bagi pemerintah untuk misalnya, memberedel media massa, seperti yang dapat terjadi dalam klausul semula. "Namun kalau hukuman denda uang tetap, kan dalam pasal-pasalnya disebutkan denda maksimum. Artinya kan nanti terserah hakim, kalau hakim memutuskan dendanya Rp 1 saja kan bisa. Soalnya kalau seperti perusahaan media massa besar, misal dari luar negeri, dikenai denda jumlahnya kecil kan bisa saja dia dengan gampang membayar," ujar Agus.
Menurut Agus, ketentuan seperti itu sebetulnya memberi keleluasaan besar bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman. Jika ternyata dalam praktiknya hakim menjatuhi hukuman tidak sesuai dengan asas keadilan, berarti hakim itu tidak bekerja dengan didasari Ketuhanan Yang Maha Esa dan untuk mencapai keadilan.
Lebih lanjut seusai pembahasan, Ketua Komisi I dari Fraksi Partai Golkar Theo L Sambuaga menyatakan, pihaknya akan tetap melanjutkan proses pembahasan RUU tersebut sesuai ketentuan yang ada. Dalam rapat kali ini dibahas sejumlah Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dalam Pasal 3, 4, 5, dan 6 RUU Rahasia Negara. Proses pembahasan, menurut Theo, dijadwalkan akan dilanjutkan kembali minggu depan, Selasa 2 September 2009.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.