JAKARTA, KOMPAS.com — Peneliti hukum pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Bivitri Susanti menyatakan, pengadilan tindak pidana korupsi bersifat regional sangatlah realistis. Sayangnya, hal itu masih dibahas dalam pembahasan RUU Pengadilan Tipikor di DPR yang hanya menyisakan satu kali sidang lagi.
"Dengan sistem regional, penempatannya bisa mengikuti pola pengadilan HAM. Di wilayah timur di Makassar, barat di Medan, dan tengah ada di Jakarta," kata Bivitri di Jakarta, Selasa (11/8).
Praktisi hukum Bambang Widjojanto mengusulkan supaya pengadilan tipikor ditempatkan di wilayah yang anggarannya besar, baik APBD maupun APBN. "Logikanya semakin besar anggaran potensi korupsinya semakin besar," ucapnya.
Dengan pengadilan per wilayah seperti itu, lanjut Bambang, biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar. Dan penyediaan hakim adhoc atau nonkarier tidak terlalu sulit. "Hal ini mematahkan logika Menhuk dan HAM yang memakai keberatan finansial dengan penerapan pengadilan di setiap kabupaten/kota," tuturnya.
Saat ini, komposisi di pengadilan tipikor adalah hakim karier berjumlah dua orang dan nonkarier tiga orang. "Ini yang ingin kita pertahankan. Kalau usulan pemerintah, komposisinya diserahkan kepada pengadilan negeri. Takutnya hakim karier yang banyak, sehingga kasus korupsi sulit diselesaikan," harap Bivitri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.