JAKARTA, KOMPAS - Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara diyakini masih kuat berpotensi membahayakan kebebasan pers bahkan dapat memunculkan bentuk pembredelan gaya baru, tidak jauh berbeda dengan pembredelan yang dilakukan pemerintahan otoriter Orde Baru di masa lalu. Potensi pembredelan itu tampak dalam sejumlah pasal yang mengatur soal sanksi pidana dan denda bagi korporasi, yang dianggap melanggar ketentuan tentang rahasia negara.
Untuk itu Ahmad Faisol dari Institut Studi Arus Infomasi (ISAI), Jumat (7/8), mengajak semua pihak mewaspadai masalah itu. Menurut Faisol, dalam pasal 49 ayat 2 RUU RN disebutkan, korporasi yang melanggar dapat ditempatkan di bawah pengawasan, dibekukan atau dicabut izinnya, dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, selain dipidana penjara atau denda paling sedikit Rp 50 miliar hingga Rp 100 miliar.
Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara bakal menjadi sarana bredel baru bagi perusahaan media atau juga perusahaan lain, yang dianggap melanggar aturan itu. "Oleh karena itu kami (ISAI) menolak pengesahan RUU RN," ujar Faisol.
Lebih lanjut tambahnya, ketentuan dalam pasal 49 RUU RN tadi jelas menunjukkan tendensi negara masih ingin mengooptasi dan memberangus kebebasan pers, baik melalui hukuman denda, pencabutan izin, atau menyatakannya menjadi organisasi terlarang.
Namun begitu usai mengundang acara makan siang sejumlah pemimpin redaksi (pemred) media massa nasional di Departemen Pertahanan, Kamis kemarin, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengaku menjamin tidak akan ada lagi kesalahan masa lalu terkait pembredelan pers kembali terjadi. "Saya anggap wajar jika elemen masyarakat sipil dan media massa khawatir RUU RN bakal mengulang kesalahan masa lalu. Namun tadi saya jamin tidak akan terjadi lagi yang namanya tentara terlau ketat mengawasi, akan ada pembredelan secara serta merta. Khawatirnya seperti itu kan?" ujar Juwono.
Menurut Juwono, kalangan masyarakat sipil termasuk lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan para jurnalis tidak perlu takut karena justru seharusnya mereka selalu berada di posisi terdepan mengontrol agar tidak terjadi penyalahgunaan aturan perundang-undangan tentang rahasia negara. Apalagi saat ini sudah era keterbukaan di mana kalangan masyarakat sipil dan media massa bisa langsung bersikap kritis. Masyarakat tidak perlu lagi khawatir akan ada yang ditutup-tutupi apalagi sekarang eranya globalisasi dengan berbagai kemajuan teknologi informasi. Namun yang namanya rahasia negara, di negara mana pun tetap ada. Tidak semuanya terbuka. Kalau semua mau serba dibuka, manusia akan menjadi serigala bagi sesamanya seperti yang dikatakan Thomas Hobbes, homo homini lupus. "Hanya yang kuat modal, teknologi, dan uang, atas nama keterbukaan," ujar Juwono.
Untuk itulah segala bentuk kebebasan tetap harus dibatasi, termasuk kebebasan pers. Menurutnya, esensi kebebasan dan keterbukaan adalah membatasi diri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.