JAKARTA, KOMPAS.com — Bantahan calon presiden dari Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono dan tim kampanyenya atas iklan kampanye "pemilu satu putaran" yang dikeluarkan Denny JA dinilai sebagai upaya cuci tangan.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, mengatakan, selama ini tim SBY-Boediono selalu gencar memobilisasi wacana pemilu satu putaran dengan alasan penghematan anggaran.
Jika bukan merupakan bagian dari kampanye timnya, menurut Syamsuddin, seharusnya iklan tersebut diminta untuk dihentikan penayangannya. "Kelihatannya, apa boleh buat, tim pendukung resmi SBY secara tidak langsung mengambil keuntungan dari iklan tersebut," katanya.
"Di satu pihak, katanya ilegal, tapi kok dibiarkan. Artinya, SBY dan timnya mengambil keuntungan secara etis dan tidak mau bertanggung jawab. Bisa dibilang, SBY cuci tangan, lepas tanggung jawab. Setahu saya, Denny JA sudah diundang ke Cikeas untuk bertemu (SBY)," ujar Syamsuddin sebelum mengisi diskusi di Gedung DPD, Jakarta, Jumat (3/7).
Sentilan JK atas iklan tersebut, dalam pandangan Syamsuddin merupakan bentuk warning bahwa telah terjadi mobilisasi wacana. "Mobilisasi itu tidak hanya fisik, tapi juga wacana. Harusnya ada pengumuman resmi bahwa Denny JA bukan bagian dari timnya," kata dia.
Syamsuddin sendiri berpendapat, tanggapan SBY mengenai iklan tersebut justru menjadi blunder bagi dirinya. "Padahal, kalau SBY tadi malam tidak terpancing menanggapi, lebih aman," tuturnya.
Iklan harus ditarik
Sekretaris II Tim Kampanye Nasional Mega-Prabowo Hasto Kristianto meminta agar iklan tersebut ditarik dari publikasi media. "Iklan pemilu satu putaran yang dibantah sebagai iklan dari Tim Kampanye SBY, bahkan dikatakan sebagai ilegal, sudah selayaknya ditarik," ujar Hasto kepada Kompas.com.
Bahkan, Polri dan Bawaslu, menurutnya, perlu melakukan pengusutan terhadap sumber pembiayaan iklan tersebut. "Jangan-jangan sumber dananya juga ilegal. Bantahan bahwa iklan tersebut tidak berasal dari tim sukses SBY membawa implikasi hukum," kata Hasto.
Iklan tersebut dinilainya sebagai iklan antidemokrasi yang dapat menyesatkan publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.