JAKARTA, KOMPAS.com — Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sekalipun lebih baik dan maju dari perangkat hukum sebelumnya, belum memadai sebagai payung hukum perlindungan bagi para pekerja pers.
Hal itu terungkap dalam diskusi yang diselenggarakan UNESCO dan Dewan Pers dalam rangka memperingati 10 tahun kemerdekaan pers, Selasa (5/5). Dalam kesempatan itu, diserahkan Penghargaan Karya Jurnalistik 2009.
Untuk kategori Pengembangan Kemerdekaan Pers, penghargaan diberikan kepada Ninok Leksono (Harian Kompas) dengan karyanya Media, Teknologi dan Kekuasaan. Untuk kategori Perlindungan Kemerdekaan Pers, penerima penghargaan ialah Abdul Manan dari Koran Tempo dengan karyanya Time Saja Tidak Cukup.
Praktisi hukum, Todung Mulya Lubis, mengatakan, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers merupakan tonggak sejarah. Namun, masih terdapat kekosongan di sana sini, seperti tidak mengatur penggunaan fitnah, hasutan, dan pencemaran nama baik.
"Hakim dan polisi dapat dengan mudah menggunakan pasal pencemaran nama baik dalam KUHP untuk menjerat pers," ujarnya.
Hanya saja, masyarakat pers masih enggan mengajukan perubahan terhadap perundangan itu. Kekuatan antikebebasan pers di parlemen dikhawatirkan akan menggunakan kesempatan itu untuk menekan kembali kebebasan pers. Bagaimanapun, undang-undang itu dianggap lebih baik dan maju. Guna mengisi kekosongan tersebut dapat digunakan putusan-putusan dari kasus sebelumnya yang memenangkan media sebagai penguatan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.