Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik Mitos Orang Toraja

Kompas.com - 23/01/2009, 22:51 WIB

Oleh Stanislaus Sandarupa

Sejak Toraja dimekarkan menjadi Kabupaten Toraja Utara dan Toraja (Selatan) sudah mulai timbul masalah kecil. Misalnya dalam pelaksanaan program pariwisata ”Lovely December 2008”. Beberapa orang yang menghadirinya kurang puas karena pelaksanaannya jauh dari yang diharapkan.

Padahal, program ini didukung penuh Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo. Penyebabnya beberapa, tetapi yang mencolok adalah masalah struktural: pelantikan care taker Bupati Toraja Utara pada tanggal 26 November 2008.

Program sudah dirancang jauh sebelum pelantikan, dan ketika tiba pada pelaksanaan, Toraja sudah resmi terbagi dua. Padahal, kegiatan-kegiatan kepariwisataan berada di dua kabupaten itu. Muncullah masalah saling mengharapkan dan ketidakjelasan siapa yang harus melaksanakan apa. Tidak ada koordinasi dan job descriptions antara keduanya.

Persoalan ini berkaitan dengan masalah lama yang menyangkut hubungan keduanya dan merefleksikan kekhawatiran: akankah persaingan tidak sehat dan saling menjatuhkan mewarnai hubungan keduanya, seperti yang terjadi di beberapa daerah yang sudah dimekarkan?

Sebelumnya memang terjadi pro dan kontra tentang pemekaran Toraja. Mereka yang mendukung berargumen, pemekaran adalah proses demokrasi yang bertujuan untuk menyejahterakan rakyat. Mereka juga menegaskan, pemekaran tak akan menyebabkan perpecahan budaya. Tidak ada budaya Toraja Utara dan Toraja Selatan. Walaupun terdapat sejumlah versi, budaya Toraja hanya satu, ibarat dialek-dialek sebuah bahasa.

Kelompok antipemekaran justru mengkhawatirkan bahwa pemekaran menimbulkan keterpecahan budaya. Sejak dulu sampai pemekaran, masyarakat selalu mengoposisikan diri antara utara dan selatan. Bagaimana pengelompokan sosial demikian dipahami dan diatasi kemungkinan perpecahannya?

Politik mitos

Dalam hal ini perlu dicari pendasaran budaya, dan yang sangat dominan adalah mitos sebagai simbol identitas kelompok. Hasil penelitian menunjukkan, mitos-mitos Toraja dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian berdasarkan tempat.

Pada satu pihak, terdapat mitos dari utara yang dicirikan tokoh Sulo Ara' (Penerang Hati). Ia bersama Tangdilino' pergi ke selatan Rura untuk memurnikan ajaran agama (Aluk), yang dilanggar ”manusia pertama” dengan mengawinkan dua anak laki-lakinya dengan dua anak perempuannya (inses). Berkat pemurnian ini orang Toraja bangkit dari kehancuran dan menjadi hidup subur.

Mitos lain bercerita tentang tokoh Landorundun, seorang wanita cantik berambut panjang yang mencitrakan kekayaan. Dan, siapa yang tidak ingat mitos Anak Dara Sa'dan yang setelah menjadi istri Pencipta (Puang Matua) di langit penciptaan dapat dilakukan?

Pada pihak lain, mitos dari selatan ditandai tokoh-tokoh Tamboro Langi' dan Lakipadada. Tamboro Langi tomanurun dari langit, adalah pendiri Kerajaan Sangngalla. Makhluk dari langit adalah laki-laki.

Lakipadada, seorang teolog, mengajarkan bahwa di belakang kematian ada kehidupan abadi. Bukankah ini yang melatarbelakangi semua praktik ritual kematian di Toraja?

Ia kemudian kawin dengan Karaeng Tara Lolo, Putri Raja Gowa di Makassar, dan melahirkan tiga turunan raja yang berkuasa di Sulawesi Selatan. Patta La Merang menjadi raja di Gowa, Patta La Bunga menjadi raja di Luwu', dan Patta La Bantan menjadi raja di Sangalla' sebagai Puang Palodang Pertama.

Dalam kedua tipe mitos di atas ditemukan term-term yang tidak berdiri sendiri, tetapi berkorelasi dan saling melengkapi. Makna mitos kelompok satu baru bisa dipahami bila dihubungkan dengan lainnya.

Perbandingan memperlihatkan, mitos dari utara dicirikan elemen aluk, yang berarti upacara dengan makna global kehidupan dan kesuburan, dan elemen anak dara yang artinya anak darah dengan makna global perempuan. Mitos dari selatan ditandai elemen rari, yang berarti perang dengan makna global korban dan kematian, dan elemen anak muane yang berarti anak laki-laki dengan makna global laki-laki.

Di sini kehidupan, kesuburan, dan perempuan masuk ke dalam satu kelas; sedangkan korban, kematian, dan laki-laki masuk kelas lain. Bila diperluas ke aspek-aspek lain budaya ditemukan pola yang sama di mana ritual kehidupan (rambu tuka', tongkonan, pusat pemerintahan tradisional) masuk ke dalam kelas pertama, sedangkan ritual kematian (rambu solo', lumbung dan departemen peperangan) masuk kelas lain. Sistem ini disebut sistem berpasang-pasangan (ma'pasibali) yang bersifat dualistis.

Kelas pertama direpresentasikan oleh kategori perempuan, sedangkan kelas kedua laki-laki. Utara memakai perempuan sebagai simbol kelompok, sedangkan selatan laki-laki.

Kesatuan orang Toraja

Hubungan keduanya dimaknai sebagai hubungan saudara. Dalam bahasa kekerabatan, laki-laki menyebut saudari perempuannya anak darah (anak dara), sedangkan perempuan menyebut saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane).

Hubungan ini menjadi sakral dalam mitos. Hubungan saudara yang sakral adalah esensi kebudayaan Toraja.

Hubungan itu dicirikan oleh keterbedaan, oposisi, dan kesatuan. Kesatuan dipahami sebagai totalitas yang mencakup dua elemen yang beroposisi. Dari sudut hierarkisme nilai, elemen yang mencakup kedua elemen yang beroposisi mendapatkan nilai yang lebih tinggi (Dumont 1970; Fox 1990; Hertz 1973).

Elemen perempuan sebagai representasi kesuburan mendapatkan nilai lebih tinggi daripada laki-laki karena dialah yang mencakup oposisi kedua elemen itu. Ibarat hubungan antara tangan kanan dan kiri. Tangan kanan sebagai representasi tubuh mendapatkan nilai yang lebih tinggi daripada kiri karena dialah yang mencakup oposisi kedua elemen itu.

Walaupun pemekaran berterima karena didukung kategori - kategori budaya, keterbedaan dan oposisi terkadang disalahtafsirkan oleh sebagian sebagai perpecahan dan sering dipolitisasi oleh segelintir orang untuk memecah belah. Namun, tidak ada keterbedaan dan oposisi, yang adalah keterpecahan karena keduanya adalah prasyarat konstruksi sebuah kesatuan.

Bila benar mitos adalah charter pengorganisasian kelompok dan pemekaran, maka mitos tersebut dapat dipakai secara kreatif untuk merekonstruksi kesatuannya. Tentu saja asalkan warisan budaya mitos dijadikan pandangan hidup dan norma tingkah laku dalam berbagai interaksi sosial. Dengan demikian, pembagian wilayah secara administratif tidak akan menimbulkan keterpecahan.

Nilai kesatuan ini menjadi normatif dalam peribahasa, iapi nabisa sisarak tu to da mai na to lo' mai ke sisarakpi tu mata mabusa na mata malotong, ”Utara dan selatan baru dapat berpisah bila mata putih terpisah dari mata hitam”. Ini aspek idealnya.

Dalam praktik, kompetisi dan persaingan akan selalu terjadi dan ini dijamin undang-undang otonomi daerah. Namun, persaudaraan hendaknya dikedepankan.

Lokal genius ini adalah dasar humanisme dan dapat diangkat menjadi nilai nasional, bahkan dapat digabung dengan kearifan global dalam memajukan kesejahteraan bersama dan mengarungi kehidupan keindonesiaan modern dan global.

Stanislaus Sandarupa Anggota Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Ilmu-Ilmu Budaya, Unhas

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com