Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

LPD Bali Mendunia, Kenapa Tidak?

Kompas.com - 27/10/2008, 17:19 WIB

DENGAN mengendarai sepeda motor, Nyoman Kerti (35), setia menghampiri puluhan nasabah lembaga perkreditan desa tempat ia bekerja di sekitar Kuta Utara, Kabupaten Badung, Bali, setiap hari kecuali Minggu. Termasuk dengan telaten pula ia menyatatkan berapa pun uang nasabahnya yang ditabung, mulai dari Rp 2.000 hampir lebih dari 10 tahun.

Selain Kerti, ada puluhan orang lain yang berkeliling setiap hari. Mereka adalah ujung tombak sebagian lembaga perkreditan desa.

"Kami tidak perlu capek pergi untuk menabung atau mengambil uang tabungan seperti di bank-bank (konvensional) itu. Setiap hari Mbok Man (panggilan akrab Kerti datang). Tinggal pesan saja berapa uang yang akan diambil. Besoknya, uang sudah diantar di rumah," kata Putu Novianti, seorang nasabah Kerti.

Masyarakat merasa lembaga ini membantu kehidupan sehari-hari, dari menyisihkan uang dapur hingga mencari pinjaman. Bagaimana tidak? Layanannya tidak rumit. Nasabah tidak perlu mengantri.

Meminjam uang pun tak perlu repot melampirkan syarat ini itu. Hanya saja, bunganya memang tinggi. Jika tidak segera lunas sesuai jadwal, nama menjadi taruhan. Karena, banjar (desa) akan mengumumkan siapa-siapa yang nunggak pinjaman di LPD. Malu!

Biasanya, pinjaman marak ketika hari raya Galungan dan Kuningan, upacara adat, maupun musim anak masuk sekolah. Tetapi sebagian pinjaman mengalir sebagai modal usaha seperti di pasar-pasar tradisional, misalnya Rp 200.000 untuk tiga bulan.

Kelihatannya sepele, tetapi perputaran uangnya cepat. Selain itu, lembaga tertolong dengan budaya malu masyarakat Bali ketika namanya diumumkan di banjar jika bermasalah. Padahal, bisa jadi pelunasan utang pun gali lobang tutup lobang.

Lembaga perkreditan daerah (LPD) di Pulau Dewata berkembang sejak sekitar ahun 1984. Sebanyak delapan desa adat memelopori perkembangannya saat itu. Dalam perjalanannya 24 tahun kemudian di 2008 ini hingga Juni, jumlah LPD mencapai 1.356 lembaga, tersebar di sembilan kabupaten/kota dengan menyerap tenaga kerja sedikitnya 6.500 orang. Asetnya pun tak terduga mencapai tiga triliun rupiah per Juni 2008.

Belajar dari lembaga perkreditan di Padang (Sumatera Barat), LPD di Bali semakin percaya diri. Justru di tahun 90-an, ketika di Bali semakin berkembang, berbagai lembaga perkreditan yang berbasis masyarakat lokal pun koleps seperti di Sumatera dan Nusa Tenggara Barat. Mereka yang koleps ini pun lebur menjadi bank perkreditan rakyat.

Meski membanggakan, pesatnya kepercayaan lokal dengan ruang gerak lokal tersebut justru memunculkan keresahan. Apakah lembaga berbasis kerakyatan lokal ini mampu bersaing dan terus menjaring kearifan lokal itu sendiri? Mampukah lembaga ini meyakinkan masyarakat lokal untuk membangun lingkungannya dengan jerih payah sendiri? Ataukah hanya puas sampai di sini?

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com