Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ekonomi yang Tercerabut

Kompas.com - 15/10/2008, 01:13 WIB

Cuma, sejak kapan chrematistike terpeleset menjadi oikonomia? Soal ini membawa kita ke temaram sejarah abad ke-19. Dalam kepekatan kabut masa lalu, jejak pelesetan itu dapat dikenali dalam gagasan filsuf Inggris, John Stuart Mill, yang awalnya hanya ingin membuat ketat obyek kajian ekonomi. Tahun 1836 ia menulis: Ekonomi ”tidak mengkaji seluruh perilaku manusia.., tetapi hanya hasrat makhluk yang mengejar harta.., dengan menepis hasrat lain kecuali pengejaran harta”. Dalam silang pendapat, upaya metodologis Mill ini lalu berpengaruh secara mendalam, terutama pada mazhab ekonomi yang kini disebut neoklasik.

Rekaan metodologis itu membiakkan bukan hanya cara berpikir, tetapi membentuk cara berperilaku. Dari situ pula berkembang gambaran ”makhluk ekonomi” (homo oeconomicus). Apa relevansi semua ini dengan kegagapan kita atas petaka yang terjadi hari-hari ini?

Ketercerabutan ekonomi

Syahdan, sejarah adalah perkawinan hasrat, tindakan, dan gagasan. Namun, gagasan rupanya lebih sering direka-reka sesudahnya untuk membenarkan hasrat dan tindakan, apa pun isinya. Pola itu tidak keliru diterapkan pada ilmu ekonomi yang dominan saat ini. Caranya? Caranya serumit labirin, tetapi itu bermuara ke satu agenda: bagaimana membuat kegiatan ekonomi tampak seperti peristiwa alam, semisal tsunami atau gempa bumi.

Seperti tsunami terjadi bukan karena tindakan manusia, begitu pula terjadinya utang beracun (toxic debt) dilihat bukan karena tindakan para baron keuangan, tetapi sistem perbankan. Apa yang fatal? Pertanyaan tentang ”siapa” (who) diusir dan diganti dengan ”apa” (what). Siasat itu bukannya tidak berguna sebab ia dapat menghindarkan analisis ekonomi dari selera pribadi. Namun, kerugiannya jauh lebih fatal daripada untungnya. Ekonomi sebagai ilmu manusia lalu dikosongkan dari manusia karena itu ia kehilangan isinya. Pokok ini punya implikasi jauh.

Pengosongan ”siapa” itu berisi pembuangan tanggung jawab (responsibility), sama seperti tsunami terjadi bukan karena tindakan manusia, tetapi gravitasi semesta. Dalam ekonomi dewasa ini, hukum gravitasi disebut ”sistem pasar”. Dengan itu, hasrat dan tindakan psikopatik dan patologis para baron finansial yang berjual beli uang demi uang juga terbebas dari tanggung jawab. Seperti biasa, pokok ini selalu dibaca sebagai sikap antipasar. Tak ada yang lebih keliru daripada pembacaan seperti itu.

Masalahnya bukan ekonomi pasar, tetapi ekonomi pasar yang berlaku dewasa ini adalah jenis ekonomi pasar yang tercerabut (disembedded). Sekali lagi, genius ekonomi pasar sungguh dapat membantu terciptanya hidup bersama asal kehidupan bersama tidak diperlakukan sebagai pasar. Kekacauan yang terjadi di pasar finansial hari-hari ini adalah bukti ketercerabutan itu. Bukankah itu pula yang terjadi berulang kali di Indonesia dalam 10 tahun ini? Dengan kegenitan ala Wall Street, bangsa petani berlagak melompat jadi pialang bursa. Apa yang belum terjadi adalah evolusi kultural. Maka, kita mirip ”orang utan” bermain lembar-lembar bursa, sementara lahan pertanian dan pabrik kian tidak dianggap titik berangkat oikonomia.

Namun, bagaimana menanam kembali (re-embedding) ekonomi yang telah tercerabut? Ini akan menyita catatan panjang. Di tengah luluh lantak pasar uang, mungkin berguna hari ini hanya mengajukan kehati-hatian sederhana. Itu pun bukan dari Wall Street, tetapi dari senior Aristoteles, yaitu Plato dalam Republik: ”Kalau yang disebut orang adil adalah ahli menjaga uang, ia tentu juga ahli mencuri uang.”

B Herry Priyono Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com