Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menelusuri Jejak Boedi Oetomo di Museum Kebangkitan Nasional

Kompas.com - 17/07/2008, 10:37 WIB

Beda dengan Sekolah Dokter Jawa yang hanya menerima siswa dari Jawa, STOVIA menerima siswa dari berbagai daerah di Nusantara. Lama pendidikan tiga tahun, kemudian belajar kedokteran sembilan hingga 10 tahun. Para pelajar yang diterima masuk Stovia adalah lulusan Europeesche Legere School (ELS) atau sederajat.

STOVIA berkembang pesat sampai kemudian terasa tidak memadai lagi sebagai tempat pendidikan calon dokter. Maka, mulai tahun 1920 secara bertahap pendidikan STOVIA di daerah Kwini, Senen, dipindahkan ke Salemba (sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia atau UI yang kemudian menjadi cikal-bakal lahirnya UI). Setelah kegiatan pendidikan STOVIA akhirnya semua terpusat di Salemba, kampus STOVIA yang lama sejak tahun 1926 digunakan untuk tempat pendidikan MULO dan AMS (sekarang setingkat SMP dan SMU) serta untuk Sekolah Asisten Apoteker.

Pada masa pendudukan Jepang, 1942-1954, gedung itu dipakai untuk menampung tentara Belanda yang menjadi tawanan perang Jepang. Setelah Indonesia merdeka, mulai tahun 1945 - 1973, gedung itu dihuni bekas keluarga tentara Belanda dan orang-orang Ambon.

Karena nilai sejarah yang dimiliki gedung itu, yaitu berkaitan dengan kelahiran Boedi Oetoemo pada 20 Mei 1908 yang sejak tahun 1948 ditetapkan sebagai hari Kebangkitan Nasional maka pada tahun 1973 Pemerintah Provinsi DKI Jakarta memugar gedung tersebut dan pada 20 Mei 1974 meresmikannya sebagai Gedung Kebangkitan Nasional. Para penghuninya dipindahkan.

Selanjutnya, komplek gedung berbentuk segi empat tersebut dijadikan empat buah museum yaitu Museum Budi Utomo, Museum Wanita, Museum Pers dan Museum Kesehatan sampai akhirnya pada 7 Februari 1984 menjadi Museum Kebangkitan Nasional.

Total koleksi museum itu saat ini sebanyak 2.042 buah berupa bangunan, mebel, jam dinding, gantungan lonceng, perlengkapan kesehatan, pakaian, senjata, foto, lukisan, patung, diorama, peta/maket/sketsa, dan miniatur. Koleksi-koleksi yang semuanya berkaitan dengan benda-benda bersejarah pergerakan nasional sampai dengan Indonesia merdeka itu dipajang di sejumlah ruang pamer, antara lain di ruang awal pergerakan, ruang kesadaran nasional, dan ruan pergerakan, dan ruang memorial Boedi Oetomo.

Kondisi museum itu terbilang cukup terpelihara. Komposisi bangunan masih seperti ketika pertama kali STOVIA mulai beroperasi.

Sayang, museum yang sekarang dikelola Departemen Pariwisara dan Kebubayaan sepi pengujung. Setahun rata-rata hanya ada 15 ribu pengunjung. "Umumnya pelajar yang datang berombongan," Kata Kasie Koleksi dan Bimbingan Edukasi museum itu, Isnudi, Rabu (16/7).

Padahal harga tiket masuknya murah, hanya Rp 750 untuk dewasa dan Rp 250 untuk anak-anak. Selain menikmati koleksi, halaman tengah museum yang lumayan lapang serta dipenuhi pohon peneduh pun bisa buat duduk santai atau sekadar relaksasi. Museum memang belum menjadi tujuan wisata yang diminati di negeri ini.

Tahun ini, tepat 100 tahun berdirinya Boedi Oetomo yang kemudian dijadikan tonggak kebangkitan nasional, kebangkitan Indonesia sebagai nation. Semoga saja semangat nasionalisme yang dikobarkan para pendiri Boedi Oetomo terus berdampak hingga kini demi Indonesia yang lebih maju. Nasionalisme sesungguhnya tidak kenal kata selesai atau tuntas, nasionalisme selalu berproses atau 'menjadi'.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com