Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Satu Pagi di Lereng Merapi

Kompas.com - 08/07/2008, 09:07 WIB

“Sekarang harga lagi jatuh. Satu kilo hanya Rp 1.250,” katanya tentang harga kembang kol yang sedang murah-murahnya. Padahal kalau lagi mahal, satu kilogram kembang kol di tingkat petani bisa mencapai Rp 2.500-Rp 3.000. Bahkan pernah Rp 4.000. Ya begitulah, petani memang selalu dihadapkan pada persoalan ketidakpastian harga hasil panen. Harga jatuh ketika panen, sementara harga sarana produksi seperti bibit dan obat-obatan antihama dan antipenyakit selalu naik setiap musim tanam.

Dari rumah Pak Parjo, saya kemudian menyusuri jalan menuju areal persawahan di luar Dusun Sewukan. Di tengah jalan saya kembali bertemu Mas Slamet, anaknya Mbok Karti, yang sehari-hari adalah PPL itu.

Mengikuti jalannya yang cepat, saya yang bertubuh XXL ini tentu saja keponthal-ponthal. “Saya biasa harus jalan cepat. Kalau ndak begini, nanti saya telat ke lapangan,” kata Slamet yang harus mengerjakan sawahnya terlebih dahulu sebelum berangkat dinas ke desa lain tempat dia bertugas sebagai penyuluh.

Itulah dedikasi seorang penyuluh, bekerja lebih dahulu sebelum berangkat kerja. Tentu saja ia juga harus memberi contoh bagaimana bertani yang baik di sawah orangtuanya kalau ingin dipercaya petani lain. Lha kalau tanamannya sendiri saja tidak bagus, bagaimana ia harus memberi “pelajaran” kepada petani lain. Bisa-bisa diketawakan dia!

“Petani di sini sudah pinter-pinter Mas. Kalau soal cara menanam dan merawat tanaman, enggak usah diajari. Yang penting adalah informasi pasar. Jenis sayur apa yang akan laku dua tiga bulan ke depan,” kata Slamet merendah.

Dusun Serwukan, seperti halnya desa-desa di lereng Gunung Merapi memang penghasil sayur-sayuran untuk pasar di berbagai kota, termasuk Jakarta. Di sini petani justru jarang menanam padi. Kalau pun ada sekadar untuk selingan.

Selepas dari sawahnya Slamet, saya  masih menyempatkan ngobrol-ngobrol dengan sejumlah petani lain, baik yang sedang panen cabe, tomat, kembang kol, menyemprot tanamannya, atau sekadar membersihkan rumput dan menjaga aliran air ke sawahnya agar tidak terlalu basah.

Alternatif lain berlibur

Kembali ke desa, menikmati kesegaran alam,  bergaul dengan orang-orang desa, sekaligus mendengarkan keluhan mereka tentang kesulitan hidup, kiranya bisa menjadi alternatif lain berlibur bersama keluarga.

Cobalah Anda bayangkan betapa nyamannya mendengar kicau burung, menyaksikan matahari pagi terbit dari balik puncak Merapi kala udara masih berkabut. Juga dengarkan gemericik air di pancuran-pancuran buatan untuk kepentingan warga desa, gemerujuk air di saluran irigasi, serta keramahan warga desa.

Anda yang punya anak baru gede (ABG) juga tidak ada salahnya memperkenalkan kehidupan desa yang sederhana, ramah, dan damai. Kepada mereka Anda bisa memperkenalkan berjenis-jenis tanaman yang biasa dia makan, bagaimana berbagai-bagai jenis pangan itu dihasilkan, dan yang terutama bagaimana kerasnya para petani bekerja untuk menyediakan pangan bagi orang kota.

Dengan begitu, Anda telah mengajarkan kepada anak-anak untuk lebih menghargai setiap butir nasi dan setiap potong sayur yang dia makan. Dan yang lebih penting, anak-anak diajarkan untuk bersyukur kepada kebesaran Allah atas alam yang subur yang telah memberi kita kecukupan pangan, meski akhir-akhir ini krisis pangan melanda dunia….

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com