BILA dalam lingkungan masyarakat terkecil (keluarga) saja tidak ada lagi sikap saling menolong, bagaimana mungkin kita mengharapkan perilaku altruist ini muncul di luar lingkungan keluarga, yakni di masyarakat kita sendiri?
Altruism adalah bentuk memberi pertolongan atau bantuan secara iklhas, tanpa pamrih. Tidak ada kepentingan pribadi, apalagi motif menguntungkan baginya. Orang seperti ini mengabaikan diri sendiri demi kepentingan kesejahteraan, kesenangan atau keselamatan orang yang ditolong.
Jangankan perilaku altruist, banyak contoh sikap maupun perilaku di berbagai berita baik koran maupun tv, sebagai gambaran perilaku pro-social pun semakin sulit didapat. Pro-social merupakan gambaran perilaku mudah menolong orang lain yang dilandasi faktor-faktor yang lebih luas dibanding altrust.
Adalah Sears & Paplau yang mengemukakan bahwa sikap pro-social dalam diri seseorang banyak dipengaruhi kedekatan hubungan seseorang. Perilaku muncul karena adanya kecocokan, tuntutan sosial atau kepentingan pribadi.
Lihatlah sebagian besar kehidupan masyarakat metropolitan, orang lain sudah tidak lagi dipandang sebagai mahkluk yang perlu mendapat bantuan atau pertolongan. Keluarga masing-masing sibuk dengan kepentingannya, saling tidak mau mengganggu atau diganggu. Pengajaran maupun praktik perilaku pro-social, apalagi menolong tanpa pamrih menjadi sangat minimal dan bahkan kurang nampak.
Mengapa Menolong ?
Harus diakui hidup di kota metropolitan sangat berbeda dengan mereka yang hidup di kota kecil. Sebagian besar aktivitas dilandasi oleh motif dan tujuan yang jelas. Karenanya perilaku menolong orang lain tanpa motif bisa jadi sudah sulit ditemui di kota besar. Bisa jadi ini akibat tekanan kehidupan metropolitan entah dari segi ekonomi maupun sosial. Orang hidup dalam kejaran waktu, kurang peduli dengan situasi lingkungan, rasa takut dan curiga berlebihan pada orang lain bertumbuh.
Pandangan teoritis mengapa seseorang memutuskan untuk memberikan bantuan kepada orang lain menjadi kabur karena beberapa faktor, diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, orang menjadi kurang peka terhadap urusan atau masalah orang lain. Situasi atau orang yang memerlukan bantuan dipersepsikan sebagai situasi atau hal yang umum dan biasa terjadi. Untuk memberi bantuan orang juga cenderung menilai terlebih dahulu apakah situasi tersebut memerlukan bantuan atau tidak.
Kedua, ketika “hati nurani” sudah tidak merespon dan terusik oleh sebuah masalah, tingkat tanggung jawab menjadi berkurang, bahkan tidak ada atau merasa bukan menjadi tanggung jawabnya sehingga menajdi cuek atau egp – emang gue pikirin. Ketiga, bagi sebagian orang yang nuraninya tergerak, keputusan menolong baru akan dilakukan dengan terlebih dahulu memperhitungkan untung rugi.
Intinya, dengan memberikan pertolongan apakah membahayakan dirinya, menyita waktunya atau bahkan dengan menolong kemudian akan menjadikan masalah baginya. Sebagai contoh sering kita dengar kasus penodongan, pencopetan atau bentuk kekerasan lain terhadap orang lain dan kita tidak bisa berbuat apapun untuk menolongnya.
Ternyata memberi bantuan atau menolong orang lain pun perlu dukungan keamanan, dalam hal ini lingkungan dan sosial yang kondusif untuk dapat mengembangkan perilaku pro-social.
Meski begitu, kita berharap perilaku pro-social tetap perlu ditingkatkan. Pendidikan baik di rumah maupun di sekolah mengenai hal ini tetap harus dilakukan. Memang tidak mudah untuk mewujudkan perilaku pro-social, khususnya pada mereka yang hidup di kota metropolitan ini. Karenanya, contoh dan teladan bagi anak-anak dari orangtua mutlak dilakukan.
Semua perlu dilakukan secara dini guna menumbuhkan kepekaan dan mengasah empathy kita sebagai landasan perilaku pro-social di masyarakat. Barangkali terlalu naïf hari gini bicara”hati-nurani” dan “pro-social”, tetapi siapa lagi kalau bukan kita yang harus mau mempraktikannya.
Dukungan keluarga, lingkungan, dan sistem keamanan ditengah pergulatan mengatasi urusan dapur masing-masing memang perlu ada terlebih dahulu.
Arie Radyaswati, M.Psi.
Dosen Psikolog Keluarga & Pengembangan SDM
Pusat Konsultasi Psikologi Terapan (PKPT)
Universitas Pancasila