Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berobat Pun Harus Menyeberang Lautan

Kompas.com - 13/06/2008, 19:22 WIB

Oleh Iwan Santosa

RUMPUT dan belukar tumbuh subur di dalam kompleks Puskesmas Enggano. Suasana kompleks puskesmas terlihat sepi, medio Mei 2008, hanya ada beberapa tenaga bantu dan perawat menjelang sore hari di bangunan kayu semipermanen itu.

Selain mereka, hanya ada seorang dokter gigi dan mobil ambulans yang tersedia di Puskesmas Enggano di Desa Apoho. Puskesmas itu satu-satunya sarana kesehatan resmi bagi sekitar 2.600 penduduk di lima desa yang terbentang dalam jarak 45 kilometer dari ujung selatan di Desa Kahyapu hingga ujung utara di Desa Banjarsari.

"Sarana yang ada serba terbatas. Bahkan saya harus membawa perlengkapan sendiri. Kalau untuk pengobatan umum, warga kebanyakan memilih bidan desa yang ada. Kalau sakitnya parah harus naik kapal feri yang ada dua kali seminggu untuk dirawat di Kota Bengkulu," kata dokter gigi Fitri Aulia alumnus Universitas Moestopo Beragama yang memilih mengabdi di Kabupaten Bengkulu Utara dan ternyata ditempatkan di Pulau Enggano.

Selain Fitri, dokter umum tidak ada di Pulau Enggano. Secara formal, nama dua dokter umum tercantum di papan informasi Puskesmas Enggano. Namun, mereka tidak pernah bertugas di sana.

"Resminya memang ada dua dokter yang bertugas di Puskesmas Enggano. Nyatanya mereka tidak pernah bertugas melayani masyarakat kami. Hanya sekali mereka hadir waktu ada kunjungan resmi pejabat dari pusat," kata Ketua Lembaga Adat Enggano Mohamad Rafli Zen Kaitora.

Walhasil, penduduk termasuk anak balita yang sakit agak parah pun harus menyabung nyawa, menempuh perjalanan di jalan berbatu, menunggu kapal, diombang-ambing ombak Samudra Hindia semalaman, sebelum akhirnya mendapat perawatan di Bengkulu.

Ketua Suku Ka'may, Syamsuddin, menjelaskan, pernah ada beberapa kasus warga yang sakit akhirnya meninggal di atas kapal feri.

"Tahun lalu ada warga yang sakit keras dan tidak tertolong nyawanya. Keadaannya sudah parah waktu dibawa menyeberang laut. Dia tidak sempat dirawat dan akhirnya meninggal di kapal," kata Syamsuddin yang sejak awal dekade 1970-an bertugas sebagai polisi hingga pensiun di Pulau Enggano.

Menjadi momok

Malaria, diare, dan tipus menjadi momok yang senantiasa menghantui Pulau Enggano. "Hampir setiap keluarga pernah mengalami kasus malaria," kata Fitri yang hampir setahun bertugas di Enggano.

Walhasil, warga Enggano pun harus pintar-pintar melihat gelagat penyakit yang menimpa sanak keluarga. Sebelum kondisi fisik bertambah parah, biasanya mereka segera mengungsikan pasien ke Bengkulu dengan harapan kapal motor penyeberangan (KMP) Raja Enggano beroperasi sesuai jadwal dan tidak terhadang badai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com