Kampus rupanya dunia yang benar-benar asing bagi Lilik. Maklum, dia cukup lama hidup di pelatnas hingga membuatnya kuper. ”Saya benar-benar merasa seperti alien. Setiap hari saya ’nangis bombay’ karena otak rasanya nggak bisa jalan,” ujarnya.
Suatu ketika, dosennya untuk mata kuliah statistik bertanya: apa kamu mengerti pelajaran ini? Saya jawab, I don’t understand at all, ha-ha-ha,” tutur Lilik.
Lilik menggambarkan, usahanya untuk mengerti pelajaran yang diberikan dosen jauh lebih menegangkan daripada pertarungannya di lapangan bulu tangkis. Namun, Lilik merasa usahanya berhasil.
Sayangnya, ketika Lilik mulai bisa mengikuti perkuliahan, petaka datang. Dia kehabisan dana untuk melanjutkan kuliah. Dia pun memilih pulang ke Indonesia tahun 1995. Namun, dia tidak terlalu sedih karena dia pulang sambil membawa calon suami, Wiku Adisasmita, yang dikenalnya selama di AS.
Tahun 2002, Lilik kuliah lagi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Seperti ketika kuliah di AS, kehidupan Kampus UI juga membuatnya merasa sebagai alien. ”Otak saya rasanya beku. Karena itu, di semester-semester awal nilai saya kebanyakan rantai C,” katanya.
Lewat pertarungan panjang—kalau dalam bulu tangkis mungkin menjalani rubber set—Lilik berhasil merampungkan kuliahnya di UI tahun 2007.
Manusia baru
Setelah meninggalkan bulu tangkis, Lilik merasa seperti kupu-kupu yang baru keluar dari kepompong. Seekor kupu-kupu yang selalu haus untuk mengenal dunia. ”Saya merasa menjadi manusia baru. Saya sekarang memiliki banyak perspektif,” tambahnya.
Maklum jika Lilik merasa seperti itu. Sejak usia 11 tahun, hidupnya dihabiskan di lapangan bulu tangkis. Ketika usianya 16 tahun, perempuan asal Krikilan, Gresik, Jawa Timur, ini masuk pelatnas dan tinggal di asrama selama tujuh tahun. Bisa ditebak, kegiatan Lilik melulu latihan, bertanding, dan sekolah.
Bagaimana dengan pacaran? Lilik tersenyum ketika mendengar pertanyaan itu. ”Waktu latihan di Klub Surya Naga, Surabaya, pelatih melarang keras kami pacaran. Orangtua saya juga tidak melarang,” kata Lilik.