Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Riwayat Kota dalam Semangkuk Laksa

Kompas.com - 04/05/2008, 15:19 WIB

Karena menggunakan pikulan, porsi dan pilihan lauk yang disediakan untuk menemani nasi juga sangat terbatas. Ada sayur tongkol pedas, telor dadar kecap, bakwan, sate kentang, sate usus ayam, perkedel, dan sayur tahu pedas.

Semua ditampung dalam piring dan rantang kecil supaya cukup disusun di salah satu kotak penyimpan di pikulan. Rasanya pun tak istimewa-istimewa amat, hampir sama dengan masakan yang diracik ibu atau istri di rumah. Nasinya pun tak terasa gurih seperti lazimnya nasi uduk.

Digemari

Namun, baik nasi uduk Mawi yang kini diteruskan putranya Cece maupun laksa Pak Ucim sangat diminati. Jarum jam baru menunjukkan pukul 07.30, Minggu (27/4), tetapi pikulan Cece sudah dikerumuni pembeli. Sebagian besar dari mereka datang dengan mengendarai mobil terbaru. Tak sampai satu jam, lauk yang tersedia tinggal sedikit.

Demikian pula laksa Pak Ucim. Setiap hari Minggu, jarang bisa menemukan kios laksa tersebut di atas pukul 11.30. ”Saya mulai buka jam 07.30. Nanti agak siang sedikit sudah habis. Langganan saya banyak yang datang dari jauh, ada yang dari Sunter segala,” ungkap Ace yang setiap hari menjual 50 mangkuk laksa seharga Rp 6.000 per mangkuk itu.

Masih di Jalan Ranggagading juga dapat dinikmati minuman es buah pala Mang Okip yang segar dan soto kuning Pak Maman. Sama seperti nasi uduk dan laksa, dua jenis santapan itu sudah ada sejak masa kejayaan Bioskop City. Sebagai bukti betapa lama Maman sudah berjualan soto bogor, papan kayu yang menjadi alas atau telenan untuk mengiris daging saat ini sudah cekung hingga sedalam 5 sentimeter karena terlalu sering dipakai.

Di Jalan Suryakencana sendiri, begitu banyak pilihan jajanan dan makanan. Beberapa sudah ada sejak zaman dulu, seperti lumpia basah Anton, asinan Lengkap, bubur Bah Teng Oen, taoge goreng Gang Besi, sampai bir kocok jahe Acep di Jalan Roda.

Mereka pun masih mempertahankan cara masak tradisional. Seperti lumpia Anton yang masih menggunakan arang, atau taoge goreng Gang Besi yang setia memakai kayu bakar.

Pecinan

Bagaimana ceritanya Jalan Suryakencana jadi pusat jajanan? Warga setempat menuturkan, sejarahnya bermula dari permukiman Tionghoa di situ.

Tahun 1970-an, Jalan Suryakencana (di zaman Belanda bernama Handelstraat merupakan bagian Jalan Raya Pos atau Jalan Daendels) sudah dikenal sebagai kawasan Pecinan-nya Bogor. Warga Tionghoa bermukim di sekitar jalan itu, termasuk Jalan Roda dan Jalan Padasuka, sesuai penataan kota oleh Belanda. Seperti kawasan Empang atau alun-alun Bogor menjadi permukiman warga Arab.

Untuk memenuhi kebutuhan makanan, sejumlah warga akhirnya berinisiatif membuat beberapa jenis makanan sendiri yang khas China. ”Jadi, kalau mau makan, mereka tak perlu pergi jauh-jauh,” kata Gouw Tjeng Liam (42), pemilik asinan Lengkap, yang lahir dan besar di Jalan Suryakencana.

Seiring dengan perkembangan zaman, makanan khas China itu akhirnya beradaptasi dengan cita rasa makanan Jawa atau Sunda, sehingga jadilah racikan makanan khas Jalan Suryakencana yang masih diteruskan sampai sekarang. Ngohiang, bubur Bah Teng Oen, lumpia basah, soto bogor, dan taoge goreng adalah beberapa contohnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com