Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari Suryakencana ke Jembatan Merah

Kompas.com - 04/05/2008, 01:28 WIB

 

 

 

Bagi orang yang sudah lama tinggal di Bogor atau menghabiskan masa kecil di Kota Hujan itu, Bogor masa kini sangat berbeda dengan masa lalu. Perubahan yang terjadi sudah sangat banyak.

Usman (40), seorang warga asli Bogor yang ditemui, sedang berjalan-jalan di Jalan Suryakencana, Minggu (27/4), bercerita tentang masa lalu Suryakencana saat masih menjadi pusat keramaian Kota Bogor. ”Tahun 1970-an, jalan ini menjadi tempat kencan anak muda. Ada tiga bioskop di sepanjang jalan ini,” kenangnya.

Bioskop pertama terletak di ujung Jalan Suryakencana, berseberangan dengan Kebun Raya Bogor. Namanya bioskop Bogor Theater atau biasa disingkat BT. ”Bioskop ini ditonton kalangan China dan pribumi. Dulu harga tiketnya cuma Rp 75, terus naik jadi Rp 300 pada tahun 1980-an,” ungkap Usman.

Di bagian tengah Jalan Suryakencana, di Jalan Ranggagading, terdapat Bioskop Ranggagading atau lebih dikenal dengan Bioskop City. Lalu di ujung selatan Suryakencana ada Bioskop Park atau lebih dikenal dengan sebutan Sukasari. Ini termasuk bioskop kelas elite karena era 1970-an itu harga tiketnya paling mahal, yakni Rp 250.

Sekarang, gedung-gedung bioskop itu tinggal sejarah. Bioskop Ranggagading sudah dirobohkan, tinggal menyisakan tembok depannya. Sementara BT sudah digusur dan berubah menjadi pusat pertokoan Plaza Bogor.

Jembatan Merah

Setelah kawasan Suryakencana, pusat keramaian Bogor lainnya adalah kawasan Jembatan Merah. Bintang film dan model Henidar Amroe (46) masih ingat betul bagaimana ia menghabiskan masa kecil di kawasan Jembatan Merah. ”Ada toko sepatu Sri Sura. Ada Toko Lowi yang jualan segala rupa, dari baju sampai mainan. Saya kalau beli boneka di situ,” kenang Henidar yang sejak lahir tinggal di Jalan Merdeka, Bogor, Jawa Barat, itu.

Henidar juga masih ingat sering diajak ibunya berbelanja ke Pasar Anyar dan Pasar Mawar, atau bermain bersama keluarga di Taman Topi. ”Belum ada mal atau supermarket. Lihat toko bertingkat saja udah heboh, he-he- he. Waktu itu yang punya toko kebanyakan orang Arab,” kenang Henidar.

Namun, semua itu kini sudah berubah. Jalanan di pusat kota yang dulunya hanya diisi delman dan bemo, kini penuh sesak dengan angkot. Pasar Mawar sudah digusur, Pasar Anyar dipindah. Dan beberapa makanan favorit Henidar kecil sudah makin jarang didapatkan.

”Dulu ada asinan Lowi yang pakai oncom hitam dan daun antanan, sekarang sudah enggak ada. Terus ada kue bandros, susah juga nyari-nya sekarang,” ungkapnya. (DHF/IAM)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com