Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Fatmawati, Ibu Negara dan Insan Pejuang

Kompas.com - 16/04/2008, 12:43 WIB

Behind Every Great Man, There's a Great Woman, (Di balik laki-laki besar, selalu ada wanita besar).

Sebuah peribahasa Amerika yang terdapat di Dictionary American Proverbs ini sepertinya sering kali diasosiasikan dengan sepak terjang ibu negara yang berada di belakang para pemimpin.

Peribahasa itu juga yang tepat mencerminkan kekuatan Fatmawati Soekarno, ibu negara pertama negara ini, yang berada di balik kebesaran sang proklamator, Bung Karno.

Setidaknya, dalam pergelaran foto, film dokumenter, dan benda kenangan Fatmawati Soekarno di Jogja Gallery Yogyakarta, hal tersebut terungkap. Pergelaran yang digelar 14 - 21 April ini merupakan peringatan 85 tahun Fatmawati Soekarno.

Menurut Guruh Soekarnoputra, Ketua Yayasan Bung Karno sebagai penyelenggara pameran ini, Ibu Fatmawati merupakan sosok yang banyak menjadi panutan bagi kalangan perempuan pada masa perjuangan di Yogyakarta. Baik sebagai ibu negara, ibu rumah tangga kepresidenan, maupun ibu bagi anak-anaknya, katanya.

Guruh menuturkan, sosok Bung Karno dan Fatmawati telah banyak terlupakan dalam ingatan banyak orang. Apalagi dengan jeda Orde Baru yang begitu lama. Dalam pameran ini, sejarah akan kembali terungkap, tutur Guruh sembari mengisahkan gambar-gambar pada pengunjung.

Untuk itu, penyelenggaraan pameran ini juga merupakan sebuah alur flashback sejarah yang memperkenalkan kembali Fatmawati kepada masyarakat luas.

Berbagai foto, film dokumenter, dan benda peninggalan yang dipamerkan ini memang seperti kumpulan saksi sejarah yang menceritakan potret keseharian Fatmawati.

Dalam berbagai momen yang dihadirkan, kesederhanaan, kesahajaan, dan kemandirian tampak pada perempuan yang telah menjadi ibu negara ketika menginjak usia 22 tahun ini.

Tengok saja sebuah foto yang memperlihatkan bagaimana Fatmawati bersama dua perempuan lainnya tengah mencuci di Kali Code, Yogyakarta, atau foto ketika ibu negara RI ini memotong rumput dalam kerja bakti di lingkungan Istana Negara.

Lainnya, gambar Fatmawati dalam balutan kebaya Jawa yang menemani Bung Karno berbincang sembari minum bersama dengan masyarakat Sarangan, Jawa Timur. Itulah Fatmawati, ibu negara yang mau berbaur dengan rakyatnya sebegitu dekat, ujar Hendra Rahtomo, salah seorang cucunya yang hadir pada pembukaan pameran ini.

Lima periode

Rangkaian 127 foto yang terpajang di dinding Jogja Gallery ini terbagi dalam lima periode waktu, dari masa Bengkulu, pendudukan Jepang, Yogyakarta, Istana Merdeka, dan Sriwijaya. Setiap periode waktu mengisahkan perjalanan hidup sang ibu negara dengan karakter yang terpisah.

Selain itu, ditayangkan pula dua buah film dokumenter yang berjudul Bu Fat dalam Kenangan yang sebelumnya telah ditayangkan pada 2 Maret di Jakarta dan Tjinta Fatma, film dokudrama yang merekonstruksi percintaan Fatmawati muda dengan Bung Karno di Bengkulu.

Kurator Yayasan Bung Karno, Bambang Eryudhawan, menambahkan, periode Yogyakarta mengambil bagian terbanyak dalam pameran ini karena Yogyakarta menjadi saksi hidup perjuangan dalam mempertahankan kemerdekaan selama periode 1946-1949.

Dalam periode inilah, Fatmawati yang baru berusia 23 tahun menghadapai tantangan terbesar dalam hidupnya dengan terlibat sebagai pelaku sejarah, ujarnya.

Di tengah-tengah gejolak revolusi kemerdekaan, lanjut Bambang, Fatmawati berhasil membangun tradisi rumah tangga kepresidenan dari nol. Tentunya ketangguhan Bung Karno yang menghadapi berbagai masalah kenegaraan seperti peristiwa 3 Juli dan pemberontakan PKI Madiun juga tidak terlepas dari peran Fatmawati sebagai pendamping.

Kekuatan magis

Dalam masa pendudukan Jepang, peran historis Fatmawati juga dapat ditelusuri dalam bendera pusaka Merah Putih yang dijahit sendiri olehnya dan dikibarkan pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.

Dalam pameran itu juga terlihat bagaimana Fatmawati seperti memiliki kekuatan magis, tidak hanya di hadapan rakyatnya namun juga di hadapan sang proklamator sendiri. Seperti apa yang tertuang dalam surat cinta Bung Karno kepadanya tertanggal 11 September 1941.

Fat, dari riboean dara di doenia. Koemoeliakan engkaoe sbagai dewikoe. Koepoedja dengan njanjian moelia : kembang dan setanggi doepa hatikoe,

O, Fatma, jang menjinarkan tjahja. Terangilah selaloe djalan djiwakoe, soepaja sampai di bahagia raja. Dalam swarganya tjinta- kasihmoe.

Itulah Fatmawati yang pesonanya membuat sang founding fathers negara ini pun takluk. Kuat dalam karakter kesederhanaan dan cahaya kelembutan.

Fatmawati juga tidak hanya dikenang sebagai ibu negara namun juga insan pejuang. Untuk itulah, Fatmawati Soekarno dianugerahi gelar Pahlawan Nasional sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Tidak hanya itu, hingga saat ini nama Fatmawati juga diabadikan sebagai salah satu nama rumah sakit dan jalan di daerah Jakarta Selatan. (A06)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com