Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Ada Lagi Bakau di Marunda

Kompas.com - 14/03/2008, 09:28 WIB

Penambangan pasir

Menurut Tarmizi, kehancuran hutan bakau Marunda dimulai pada awal tahun 1890-an. Ketika itu secara besar-besaran terjadi penambangan atas pasir beting di perairan laut Marunda untuk pembangunan jalan raya Cakung-Cilincing. Beting atau bukit pasir yang menyembul di laut itu membentang sepanjang sekitar 5 kilometer dari perairan pantai Cilincing di barat sampai ke daerah Muara Gembong di Bekasi.

Jaelani Asmat, warga lain Marunda, bahkan mengingatkan, penambangan pasir beting Marunda secara besar-besaran sudah terjadi sejak tahun 1960-an, saat pemerintah membangun jalan Jakarta By Pass, jalan raya yang menghubungkan daerah Cawang di Jakarta Timur dan Tanjung Priok di Jakarta Utara.

”Beting yang lebarnya mencapai sekitar 20 meter ini merupakan benteng alam pelindung hutan bakau dan daratan Marunda,” cerita Jaelani. Setelah beting hilang, karena pasirnya terus diambil, daerah Marunda jadi langsung berada di tepi laut terbuka.

Ditambahkan Jaelani, berbagai faktor lain ikut mempercepat penghancuran lingkungan alam pesisir Marunda yang asri. Salah satunya adalah proyek pembangunan Pusat Perkayuan Marunda (PPM) pada tahun 1980-an. Dalam rangka pembangunan pelabuhan kayu, Sungai Blencong yang sempit bagian muaranya diperlebar dan diperdalam agar bisa dilalui kapal-kapal besar. ”Dari cuma 40 meter, muara Sungai Blencong diperlebar sampai sekitar 100 meter. Untuk ini pohon-pohon kelapa, nipah, dan bakau yang masih ada dibabat habis,” cerita laki-laki 58 tahun itu.

Bukan cuma hutan bakau yang habis, sebagian warga Marunda pun ikut tergusur proyek pembangunan PPM yang diimpikan menjadi pelabuhan dan pusat industri kayu raksasa itu.

Saat melakukan penelitian di Marunda dalam rangka penyusunan disertasinya, akhir 1980-an, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta Swasono yang antropolog mencatat dalam ringkasan disertasinya (1991), penggusuran itu telah mengakibatkan ratusan keluarga warga Marunda mengalami stres.

Setelah PT PPM milik Departemen Kehutanan bangkrut, proyek pembangunan pelabuhan di Marunda dilanjutkan oleh pengelola Kawasan Berikat Nusantara (KBN) yang juga melanjutkan kegiatan pelebaran Sungai Blencong dan pengerukan laut di sekitar pesisir Marunda.

Produksi udang dan ikan bandeng di tambak-tambak yang tersisa pun terus merosot akibat air Sungai Blencong tercemar berat limbah industri sejak dari hulunya di Bekasi.

Berbagai usaha pemerintah mereboisasi hutan bakau tak kunjung membuahkan hasil. ”Tahun lalu Departemen Kelautan dan Perikanan menanam 20.000 bibit bakau di Marunda Pulo dan kampung-kampung lain di Marunda yang berlokasi langsung di tepi laut. Namun, yang tumbuh tak lebih dari 400 pohon saja,” kata Tarmizi yang ikut terlibat dalam proyek itu.

Kini, setiap masa pasang naik, rumah-rumah di pesisir Marunda, termasuk bangunan cagar budaya rumah Si Pitung dan Masjid Alam, masjid tua yang konon dibangun dalam semalam oleh Fatahillah pada abad ke-16, pasti berhari-hari terendam air laut. ”Padahal, dulu kami di sini enggak pernah kebanjiran. Kalau laut pasang, rumah paling terendam beberapa jam saja,” cerita Tarmizi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com