Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kidu, Si Ulat Enau

Kompas.com - 28/02/2008, 07:36 WIB

Untunglah ada jaringan khusus di Medan. Ditemukanlah seorang pemuda bernama Victor di Desa Namorambi yang bersedia “mengadakan” kidu dan menyerahkannya kepada Mamak Lia.

Demikianlah, pada hari yang ditentukan, kami datang ke “Lapo Mariras” di Kabanjahe. Mamak Lia menunjukkan kidu yang masih hidup dan belum dimasak. “Penampakannya” memang persis seperti yang saya lihat di film dokumenter Alain Compost. Tetapi, ukurannya lebih besar. Seekor kidu panjangnya sekitar empat sentimeter, dengan diameter sekitar satu sentimeter pada titik paling gemuk di bagian perut. Gendut, putih, dan sexy!

Setelah dibersihkan kidu ini digoreng agar bagian luarnya renyah, tetapi tidak sampai pecah agar cairan di dalamnya masih utuh. Kidu goreng ini kemudian dimasak sebentar dalam kuah arsik – kunyit, kemiri, bawang merah, bawang putih, andaliman, kincung (kecombrang) – yang sebelumnya sudah mendidih tanak.

Rasanya? Hmm, sungguh mak nyuss! Bagian luarnya renyah, bagian dalamnya “pecah” ketika digigit dengan rasa yang mirip sumsum – mulus dan “klenyer” di mulut. Mungkin karena ulatnya sudah digoreng, maka saya tidak merasakan sensasi “santan mentah” seperti yang dikatakan William. Bagian mata ulat bahkan menimbulkan sensasi yang istimewa ketika dimakan. Ada sensasi “kres” yang kemudian mengucurkan cairan kental yang gurih dan lembut. Mungkin dapat disamakan dengan sumsum sapi. Tabo nai, bah!

Tetapi, Mamak Lia tidak hanya menyuguhkan arsik kidu yang lezat dan tidak terlupakan. “Kam pesan atau tidak, kam cobalah ini. Ini khas Karo zuga. Namanya ayam tasak telu,” katanya sambil membawa tiga pinggan makanan. Orang Karo memang tidak menyebut “kau” seperti layaknya orang Batak lain, melainkan memakai istilah “kam”, singkatan dari “kamu”.

“Tasak telu” secara harafiah berarti “masak tiga” atau “tiga masakan”. Masakan pertama adalah ayam rebus. Setelah direbus dengan bumbu, air rebusannya disisihkan dan disajikan sebagai kuah atau sup. Ayam rebusnya – termasuk jeroannya – dipotong-potong untuk disajikan. Bila dikehendaki, ayam rebus ini dapat dimasak lagi sebentar dengan darah ayam. Dalam bahasa setempat, darah disebut “gota” yang sebenarnya berarti getah.  

Bagian tulang-tulangnya dimasak lagi dengan sebagian kuah dan dicampur dengan cipera – bulir jagung tua yang ditumbuk halus. Dengan tambahan bumbu-bumbu, campuran ini menjadi kuah kental yang gurih. Kuah kental ini – sebagai elemen kedua dari sajian ayam tasak telu – nanti diguyurkan pada ayam rebus ketika menyantapnya.

Elemen ketiganya adalah cincang sayur. Berbagai sayur rebus – kacang panjang, batang pisang, jantung pisang, daun pepaya, daun singkong, tauge – diurap dengan parutan kelapa berbumbu.

Harus saya akui, ayam tasak telu adalah juga sajian istimewa khas Karo yang sungguh gurih rasanya. Top markotop-lah!

Saya ingin menambahkan satu lagi cerita tentang sajian sekitar Danau Toba yang makin langka, yaitu ikan pora-pora. Selain ikan mas dan mujair, ini adalah jenis ikan kecil yang dapat dijumpai di Danau Toba. Beberapa tahun sebelumnya, jenis ikan ini sempat menghilang. Tetapi, sejak beberapa bulan ini ikan pora-pora muncul lagi dalam jumlah yang cukup besar. Ikan ini dengan mudah pula dapat dipanen dengan menggunakan jala.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com