DERU debur ombak lamat-lamat terdengar dari balik rerimbunan pohon di puncak Bukit Selok, yang berada di tepi pesisir pantai selatan Jawa, tepatnya di Kecamatan Adipala, Kabupaten Cilacap, Senin (28/1). Rimbunnya pepohonan membuat angin pun sulit menembus relung-relung bukit itu.
Dua bendera yang dikibarkan di atas pintu depan Padepokan Ampel Gading Jambe Pitu, dibuatnya tetap bergeming. Kedua bendera itu hanya sesekali saja terkibar, dan tampak keduanya merupakan bendera yang berbeda.Dari sisi muka padepokan, di sebelah kanan dikibarkan bendera putih dan di sebelah kiri dikibarkan bendera Merah Putih setinggi setengah tiang.
Menurut Toto (36), pengelola dan juga guru di padepokan itu, pengibaran kedua bendera itu sebagai tanda belasungkawa atas meninggalnya mantan Presiden Soeharto yang selama hidupnya pernah menjadi putrawayah atau murid di padepokan tersebut.
“Soeharto adalah putrawayah terbaik di padepokan ini. Kami menghormatinya dan ikut berbelasungkawa beliau telah meninggal. Sebagai orang Jawa, rasa belasungkawa itu kami tunjukkan dengan bendera putih,” tutur Toto yang enggan menyebutkan nama lengkapnya.
Menurut Toto, sebelum menjadi Presiden RI, Soeharto sudah menjadi putrawayah dan banyak belajar laku dari pendiri padepokan, Romo Sudiyat Prawiro yang wafat pada 1985 lalu. “Sejak Romo wafat, Soeharto mulai jarang melakukan laku di sini,” ujarnya.
Sebaliknya, masyarakat sekitar Adipala sering menceritakan kedatangan Soeharto ke padepokan itu adalah untuk mencari kesaktian. Sampai pascaSoeharto lengser dari jabatannya sebagai Presiden RI yang dikenal sebagai masa reformasi, anggapan itu masih juga melekat pada Padepokan Ampel Gading Jambe Pitu, dan bahkan sudah merebak pada masyarakat luas.
Itu pula sebabnya, sejak masa reformasi hingga sekarang padepokan yang didirikan sejak 1958 itu selalu menjadi bulan-bulanan intimidasi oleh sekelompok masyarakat tertentu.
“Dianggapnya, padepokan ini adalah tempat kekuatannya Soeharto. Keyakinan kami dianggap musrik. Anggapan itu jelas salah. Padepokan ini adalah tempat belajar budaya jawa, menjadi orang kejawen, dan Soeharto hanya putrawayah di sini,” kata Toto.
Dalam buku Mistisisme Jawa: Ideologi Indonesia, sang penulis Niels Mulder yang merupakan antropolog kelahiran Belanda yang banyak melakukan penelitian kebudayaan Jawa di Indonesia hingga tahun 1970-an, menunjukkan rezim orde baru merupakan cerminan dari sikap kepemimpinan Soeharto yang mengikuti faham dan nilai-nilai kejawaan atau jawanisme, atau juga kejawen. Itu pula sebabnya, dia berkesimpulan, ideologi Indonesia adalah hasil Jawanisasi.
Dalam salah satu kalimat di bukunya itu, Mulder menuturkan, ada citarasa yang sama antara moralitas Pancasila dan pemikiran kebatinan Jawa. Tampaknya keduanya dibentuk dari dapur kebudayaan yang sama di suatu tempat di Jawa Tengah bagian selatan. Hanya saja, nama tempat itu tak disebutkan secara spesifik oleh Mulder, apakah di Padepokan Ambel Gading Jambe Pitu atau bukan.
Menurut penelusurannya, kesamaan nilai itu terdapat pada nilai durung jawa bagi anak-anak Jawa yang belum belajar dan mengikuti nilai-nilai kejawaan. Begitu pula pada masa orde baru, anak-anak Indonesia dianggap belum Indonesia kalau belum mengikuti penataran Penghayatan Pengamalan Pedoman Pancasila. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menjadi rumusan yang keramat dan harus diikuti, agar menjadi manusia Indonesia yang seutuhnya.
Bagi penganut Kejawen, kata Toto, aturan atau wewaler memang sesuatu yang sangat penting dan menjadi pegagangan hidup. Di dalam wewaler yang diwariskan secara turun temurun, bukan dalam suatu dokumen tertulis, manusia diajarkan menjadi manusia Jawa.
“Hal utama dalam wewaler ini, manusia harus tunaikan kodrat hidupnya dan dapat hidup saling berdampingan dengan penganut agama apa pun maupun suku apa pun. Ajaran itu pula yang diajarkan Romo Diyat kepada Soeharto,” katanya.
Hanya saja, Toto tak mengerti mengapa Soeharto selama menjalankan pemerintahan pada masa Orde Baru lalu tetap melarang Kong Fu Tse atau Kong Hu Cu hidup sebagai suatu kepercayaan di Indonesia. “Tapi itulah manusia. Manusia tak ada yang sempurna. Mungkin dia lupa dengan falsafah hidupnya,” katanya.
Oleh Mulder, menekan gejolak kehendak pribadi seperti yang diajarkan dalam Kejawen merupakan langkah efektif bagi seorang pemimpin untuk menciptakan persatuan dan ketertiban. Seperti diketahui, mulai era 1965 Kong Fu Tse dianggap oleh pemerintah rezim orde baru melekat dengan gerakan komunisme China yang menyebabkan pecahnya Gerakan 30 September 1965 yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia.
Dari situ Mulder menarik kesimpulan, dengan mengatasi gejolak sosial yang ada, seorang pemimpin akan berhasil menciptakan persatuan dan ketertiban sehingga dapat tercapai kedamaian, ketentraman, penguasaan, keberhasilan, dan kemakmuran. Inilah yang disebut Mulder sebagai gambaran pemerintahan yang dijalankan Presiden Orde Baru, Soeharto.
Namun, karena penafsiran yang seperti itu pula, kini Toto menghadapi suatu kondisi yang dilematis. Sebagai individu dirinya tetap memiliki keyakinan mengikuti aliran Kejawen. Namun sebaliknya negara hanya memberikan pilihan agama yang sangat terbatas. “Tapi sebagai Kejawen, saya diajarkan dapat menerima perbedaan dan mengedepankan sikap legowo. Saya terima yang ada sekarang,” ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.