Salin Artikel

Perpaduan Otokrasi dan Demokrasi

PENGGALAN kalimat itu adalah isi surat yang paling bersejarah ditulis oleh Martin Luther King Jr. Sepucuk surat ini berisi seruan untuk mengambil bagian dalam melawan ketidakadilan.

Ketidakadilan akan selalu dimulai dengan cara melawan hukum atau melahirkan hukum baru yang tidak adil. Hukum tidak lebih sebagai instrumen kekuasaan yang berdayaguna melanggengkan status quo.

Sebelum revolusi Melati (Jasmine Revolution) yang melanda negara-negara Afrika Utara dan Timur Tengah, rezim berkuasa memberlakukan hukum darurat untuk membenarkan tindakan antidemokrasi.

Di Tunisia, Zine El-Abidin Ben Ali yang berkuasa sejak 1987 akhirnya digulingkan pada 14 Januari 2011. Sebulan kemudian, rezim Hosni Mubarak di Mesir juga digulingkan oleh rakyatnya setelah berkuasa sejak 1981.

Apa yang terjadi di Tunisia dan Mesir menunjukan betapa kekuasaan akan memperpanjang status quo —dengan melawan hukum dan membuat hukum baru.

Praktik semacam itu selalu dibarengi dengan upaya-upaya pengangkangan hukum dan demokrasi.

Di Tunisia dan Mesir —bukannya tanpa pemilu, rezim yang berkuasa sukses mengkooptasi instrumen-instrumen pemilu sehingga memungkinkan mereka berkuasa kembali.

Hal serupa juga terjadi pada rezim orde baru, Soeharto. Hukum, demokrasi dan pemilu nyaris mati di bawah moncong senjata. Periode pemilu lima tahunan diselenggarakan dengan intimidasi dan teror.

Tak heran Golkar yang menjadi pendukung utama Soeharto, menduduki mayoritas kursi yang memungkinkan Soeharto terpilih berulang kali di parlemen.

Bayang-bayang Otokrasi

Kendati reformasi telah berlangsung sejak 1998 silam, namun bayang-bayang otokrasi tak seutuhnya lenyap di bumi Indonesia.

Sistem yang berlaku di bawah “panji agung” demokrasi justru meniup kembali roh otokrasi dalam jelmaan hukum.

Jika sebelumnya hukum membatasi otokrasi, preseden belakangan menunjukan betapa sempurnanya instrumen hukum menjadi stimulus otokrasi. Praktik semacam ini tentunya menjadi anomali ketika dihadapkan dengan model demokrasi.

Di beberapa negara demokrasi modern, muncul praktik kekuasaan lebih baru, yakni autocratic legalism. Praktik ini merujuk pada penguasa yang memanfaatkan daulat rakyat untuk mengangkangi prinsip-prinsip konstitusionalisme melalui cara-cara culas, tetapi berlindung atas nama hukum.

Di negara otoriter, kekuasaan tidak dijalankan oleh hukum. Bahkan jika pun ada hukumnya, maka tindakan penguasa bagaimana pun lalimnya, harus dilegitimasi oleh hukum.

Itu lah yang dilakukan Hugo Caves di Venezuela, konstitusi dan peraturan perundang-undangan dipreteli demi kepentingan penguasa.

Javier Corrales (2015) menggambarkan praktik Caves sebagai autocratic legalism —hukum dibentuk untuk mengikuti hasrat penguasa.

Corrales menjelaskan autocratic legalism dengan “penggunaan, penyalahgunaan, dan non-penggunaan hukum” untuk mengonsolidasikan kekuatan politik.

Chavez menggunakan undang-undang dengan mendorong parlemen untuk mengesahkan undang-undang baru yang memberinya legitimasi, menyalahgunakan hukum dengan sengaja mengubah penafsiran hukum agar sesuai dengan tujuannya, dan menghilangkan hukum yang menghalangi tujuannya.

Otokrat baru

Merujuk pendekatan Corrales, Kim Lane Scheppele (2018) menggambarkan "autocratic legalism" dengan melihat perilaku para penguasa yang menggunakan hukum sebagai alat konsolidasi kekuatan politik.

Scheppele Lalu menyebutnya sebagai otokrat baru. Otokrat baru yang dimaksud Scheppele ialah pemimpin yang dipilih melalui pemilu demokratis, namun kemenangan itu diterjemahkan dengan tindakan-tindakan yang inkonstitusional dan bertentangan dengan kehendak rakyat.

Para otokrat baru ini ketika telah terpilih, maka segala tindakannya selalu dilabeli sebagai tujuan mulia karena merupakan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.

Gejala autocratic legalism telah menjangkit negara-negara demokrasi modern. Gejalanya bisa diamati secara kasat mata.

Zainal Arifin Mochtar dan Idul Rishan (2022) menggambarkan tanda-tanda gejala autocratic legalism: pertama, kooptasi partai yang berkuasa di parlemen; kedua, menggunakan hukum untuk melegitimasi hasrat kekuasaan; ketiga, menggangu independensi lembaga peradilan.

Tanda-tanda itu kiranya menunjukan gejalanya tengah berlangsung. Kooptasi partai politik di parlemen dilakukan dengan memainkan politik sandera kepada elite-elite partai yang bergabung di kabinet.

Bila terdapat sinyal melawan rezim, tak segan data intelijen dibuka untuk —setidak-tidaknya memberi teror.

Di Golkar misalnya, setelah sebelumnya dugaan sinyal dukungan ke paslon lain, tak lama Ketua Umum Golkar, Airlangga Hartato (Menteri Koordinator Perekenomian) dan Ario Bimo (Menteri Pemuda dan Olahraga) terseret kasus dugaan korupsi.

Sementara nasib sial melanda dua kader Nasdem yang sebelumnya lebih dulu mendeklarasikan capresnya. Sekjen Nasdem Johnny G. Plate (Menteri Kominfo) dan Yasin Limpo (Menteri Pertanian) ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi.

Sebagai langkah hukum, tindakan melawan korupsi patut diapresiasi. Namun tak bijak manakala harus ditentukan oleh sikap politik partainya.

Begitu juga penggunaan hukum dan kekuasaan yudisial menjadi kesatuan paket yang menguatkan.

Hukum yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusannya yang fenomenal (Putusan MK No. 91/PUU-XXI/2023) sukar diterima akal sehat.

Kendati dalam beberapa putusannya MK dapat saja menjadi positif legislator, namun putusan a quo jelas telah meruntuhkan integritas MK sebagai penjaga konstitusi dan demokrasi.

Diperparah lagi dengan adanya pelanggaran etik berat oleh ketua MK, Anwar Usman yang notabene memiliki hubungan kekerabatan dengan pihak yang diuntungkan dari putusan a quo.

Apabila otoritarianisme menolak hukum dalam menyukseskan agendanya, autocratic legalism justru menggunakan instrumen hukum agar tindakannya seolah-olah memiliki dasar hukumnya.

Intervensi terhadap kekuasaan kehakiman adalah bagian penting dari semua agenda ini. Pos-pos penting bagi proses bekerjanya hukum terkooptasi secara terstruktur.

Dari proses pembuatan hukum (bahkan hukum dapat dibuat oleh MK) dan penegakan hukum (law enforcement) telah dikondisikan sedemikian rupa. Sehingga mekanisme bekerjanya hukum menjadi jalan mulus bagi kepentingan penguasa.

Kita patut waspada pada gejala autocratic legalism, karena daya rusaknya dapat membinasakan prinsip negara hukum dan demokrasi.

Kita patut mencurigai setiap tindak penguasa ketika menyimpangi hukum, apalagi dengan nada abai selalu diarahkan untuk digugat saja ke Mahkamah Konstitusi.

Karena bisa jadi, saat kita sedang tertidur lelap di malam hari, ada pihak yang tengah bermufakat di ruang keluarga.

Situasi belakangan mengharuskan kita untuk lebih banyak melek, sembari membaca kembali buku-buku yang memperingatkan kekuasaan otokrat dalam bentang sejarah negara Konoha.

https://nasional.kompas.com/read/2024/03/20/13493381/perpaduan-otokrasi-dan-demokrasi

Terkini Lainnya

Jemaah Haji Diimbau Tidak Umrah Sunah Berlebihan, Masih Ada Puncak Haji

Jemaah Haji Diimbau Tidak Umrah Sunah Berlebihan, Masih Ada Puncak Haji

Nasional
Polisi Arab Saudi Tangkap 37 WNI Pakai Visa Ziarah untuk Berhaji di Madinah

Polisi Arab Saudi Tangkap 37 WNI Pakai Visa Ziarah untuk Berhaji di Madinah

Nasional
Temani Jokowi Peringati Hari Pancasila, AHY: Jangan Hanya Peringati, tapi Dijiwai

Temani Jokowi Peringati Hari Pancasila, AHY: Jangan Hanya Peringati, tapi Dijiwai

Nasional
Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

Tak Persoalkan Anies dan Sudirman Said Ingin Maju Pilkada Jakarta, Refly Harun: Kompetisinya Sehat

Nasional
Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

Peringati Hari Lahir Pancasila, AHY: Pancasila Harus Diterapkan dalam Kehidupan Bernegara

Nasional
Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

Prabowo Sebut Diperintah Jokowi untuk Bantu Evakuasi Warga Gaza

Nasional
Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

Simpul Relawan Dorong Anies Baswedan Maju Pilkada Jakarta 2024

Nasional
Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

Pemerintah Klaim Dewan Media Sosial Bisa Jadi Forum Literasi Digital

Nasional
Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

Prabowo Kembali Serukan Gencatan Senjata untuk Selesaikan Konflik di Gaza

Nasional
Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

Kloter Terakhir Jemaah Haji Indonesia di Madinah Berangkat ke Mekkah

Nasional
PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

PKB Beri Rekomendasi Willem Wandik Maju Pilkada Papua Tengah

Nasional
Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Mengenal Tim Gugus Tugas Sinkronisasi Prabowo-Gibran, Diisi Petinggi Gerindra

Nasional
Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Sebut Serangan ke Rafah Tragis, Prabowo Serukan Investigasi

Nasional
Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Refly Harun Sebut Putusan MA Sontoloyo, Tak Sesuai UU

Nasional
Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPGĀ 

Mendag Apresiasi Gerak Cepat Pertamina Patra Niaga Awasi Pengisian LPGĀ 

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke