JAKARTA, KOMPAS.com - Sidang gugatan Lembaga Pengawasan, Pengawalan dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) melawan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan hari ini, Senin (12/2/2024).
Perkara yang teregister nomor 11/Pid.Pra/2024/PN JKT.SEL itu didaftarkan pada Selasa 16 Januari 2024 lalu dan menjalani sidang perdana pada 29 Januari 2024.
Namun sidang ditunda karena pihak Polri tak hadir dan digelar kembali hari ini.
"Tanggal sidang; Senin, 12 Februari 2024, pukul 10.00 sampai dengan selesai, Agenda; panggil termohon," tulis Sistem Penelusuran Perkara Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Adapun perkara ini terkait dengan penyidikan dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kasus korupsi KTP elektronik.
Dalam proses penyidikan dengan Laporan Polisi Nomor: LP/745/VI/2018/Bareskrim, tanggal 6 Juni 2018 terhadap perkara tersebut, Polisi telah memeriksa sejumlah saksi diantaranya, Diesti Astriani, Dwina Michaella, Reza Herwindo dan Setya Novanto.
“Di mana dari hasil pemeriksaan saksi diperoleh fakta-fakta bahwa tindak pidana terkait dengan perkara a quo adalah dugaan tindak pidana pencucian uang dengan perkara pokok korupsi dengan cara PT. Murakabi Sejahtera yang merupakan salah satu konsorsium yang ikut dalam proses pelelangan tender proyek e-KTP,” kata Wakil Ketua LP3HI Kurniawan Adi Nugroho kepada Kompas.com, Senin (29/1/2024).
Adapun PT. Murakabi Sejahtera sengaja dibentuk untuk mendampingi konsorsium Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) yang akhirnya dimenangkan dalam proses pelelangan tender proyek e-KTP pada tahun 2011.
Dalam proses pelelangan telah diatur untuk dimenangkan oleh konsorsium PNRI dimana pada Juni 2011, Menteri Dalam Negeri pada saat itu, Gamawan Fauzi menetapkan PNRI sebagai pemenang tender e-KTP.
Walaupun penetapan pemenang lelang digugat oleh Sugiharto selaku pejabat pembuat komitmen (PPK) dalam proyek e-KTP.
Namun, konsorsium PNRI ditetapkan sebagai pemenang lelang dalam proyek yang ditaksir merugikan keuangan negara hingga Rp 2,3 trilliun.
Sementara itu, tindak pidana asal atau predicate crime dari TPPU kasus e-KTP yang menjerat Setya Novanto selaku penyelenggara negara dengan profil kekayaan yang tidak wajar selama periode 2009-2018 itu, penyidikannya dilakukan oleh Polisi berdasarkan pidana Korupsi e-KTP yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam perkara pokoknya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menjatuhkan putusan Nomor: 130/Pid.Sus-TPK/2017/PN.Jkt.Pst atas nama terdakwa Setya Novanto pada tanggal 24 April 2018 yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewisjsde).
Majelis Hakim Tipikor Jakarta telah menjatuhkan hukuman vonis 15 tahun penjara dan denda Rp 500 juta kepada Setya Novanto serta diwajibkan mengembalikan uang yang telah dikorupsi sebesar 7,3 juta dollar Amerika Serikat (AS) dikurangi Rp 5 miliar yang telah dikembalikan.
Hak politik mantan Ketua Umum Partai Golkar itu juga dicabut selama lima tahun setelah menjalani masa hukuman.
Dalam perkara itu, Setya Novanto terbukti memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi melalui proyek e-KTP sehingga membuat negara merugi Rp 2,3 triliun.
Menurut hakim, Novanto terbukti menerima uang dari Johannes Marlien selaku Direktur Biomorf Lond LLC yang merupakan perusahaan vendor alat perekam sidik jari atau automated finger print identification system/AFIS merek L-1.
“Bahwa atas penyelidikan dan penyidikan oleh termohon (polisi) atas perkara a quo yang hingga saat ini sudah berlangsung lebih dari lima tahun namun penangannya terkesan berlarut-larut dan masih belum ada perkembangan berarti, sehingga haruslah dinyatakan termohon telah melakukan penghentian penyidikan secara materiil dan diam-diam atas tindak pidana korupsi yang dilakukan Setya Novanto,” kata Kurniawan.
“Oleh karena termohon telah melakukan penghentian penyidikan maka sewajarnya jika Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan tidak sah dan melawan hukum,” ucapnya.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/12/09483361/sidang-gugatan-lp3hi-lawan-polri-terkait-kasus-e-ktp-setya-novanto-kembali