Melakukan kampanye untuk calon presiden dan partai politik tertentu adalah legal. Namun karena yang menjadi calon adalah keluarga sendiri, maka menjadi tidak etis, sekalipun tidak menggunakan fasilitas negara dan telah cuti dari pekerjaan. Inilah salah satu inti dari petisi para akademisi.
Hasil positif tersebut adalah pertama, Presiden Jokowi menyatakan tidak akan berkampanye, walau tidak mengoreksi pendapatnya bahwa pejabat publik, termasuk presiden, boleh berkampanye menurut UU Pemilu Pasal 299.
Kedua, pemerintah menunda pembagian bansos hingga Pemilu 2024 selesai digelar.
Dua keputusan penting ini jelas mengakomodasi tuntutan yang disuarakan para akademisi dari berbagai perguruan tinggi, satu per satu, selama sekitar dua minggu terakhir ini.
Dengan demikian, kekhawatiran bahwa Presiden Jokowi akan terus mementingkan politik keluarga, tidak adil, dan memihak kelompok tertentu menjadi pudar.
Lebih lanjut, sikap Presiden ini akan menjadi contoh bagi para pejabat publik di pusat dan daerah, hingga tingkat kepala desa, untuk juga netral dan tidak menggunakan sumber daya negara, guna mendukung calon tertentu.
Presiden juga telah menegaskan agar aparat penegak hukum dan ASN tetap netral.
Tentang para menteri yang berkampanye tanpa cuti, yang sebelumnya diduga banyak dilakukan, saat ini sudah tidak mungkin terjadi lagi karena sudah tidak ada lagi kesempatan, berhubung ada hari libur, cuti bersama dan masa tenang menjelang hari pencoblosan.
Masalahnya tinggal bagaimana mencegah terjadinya serangan fajar, tidak ada tekanan kepada pemilih untuk memilih calon tertentu, dan proses penghitungan suara berlangsung tanpa distorsi.
Jika semua itu tidak terjadi, maka kita boleh lega telah menyelenggarakan pemilu dengan demokratis, bersih dan berkualitas.
Pelanggaran etika
Tuntutan lain para akademisi adalah tentang terjadinya penodaan etika demokrasi dengan penggantian batas usia cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Proses penentuan putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 pada Oktober 2023, dinilai Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sebagai cacat etika, dan atas dasar itu menghukum Anwar Usman dengan mencopotnya dari jabatan Ketua MK.
Hukuman yang lebih berat terhadap Anwar Usman, yaitu pemecatan dari keanggotaan MK, tidak dimungkinkan karena belum ada perundangan yang mengaturnya.
Maka ke depan MK perlu menyusun peraturan perundangan tersebut agar kasus serupa tidak muncul lagi.
Jika putusan MK itu dinilai melanggar prinsip meritokrasi dalam pemilihan presiden/wakil presiden, maka DPR perlu menetapkan peraturan yang lebih tegas.
Misalnya, menambah syarat baru sebagai capres/cawapres, seperti telah berpengalaman menjabat kepala daerah provinsi selama minimal satu periode penuh.
Selanjutnya untuk mencegah praktik dinasti politik seperti yang dikehendaki para akademisi, DPR juga perlu menambahkan ketentuan baru dalam Undang-Undang Pemilu.
Tambahan pasalnya berupa larangan bagi keluarga dekat presiden untuk menjadi calon presiden/wakil presiden menggantikan presiden tersebut.
Misalnya, pencalonan keluarga dekat petahana diperbolehkan setelah dua kali pemilu sejak presiden tersebut berhenti menjabat.
***
Para akademisi telah menunjukkan arah perbaikan praktik demokrasi, yang ditengarai telah menyimpang dari koridor demokrasi seperti yang dikehendaki pendiri bangsa.
Mereka menyadarkan bangsa ini akan perlu ditegakkannya praktik demokrasi yang berkualitas, yang menjunjung etika yang luhur.
Berbagai masalah etika pada lembaga negara, khususnya kepresidenan, MK, dan KPU yang terjadi telah dibuka untuk dikoreksi.
Jika hari terakhir kampanye (10/2/2024) dan masa tenang (11-13/2/2024) berjalan tertib, kita segera memasuki tahap terakhir pemilu, yaitu pemilihan presiden/wapres dan anggota DPR/DPD/DPRD.
Tantangan yang dikhawatirkan akan dapat terjadi adalah serangan fajar, tekanan politik kepada pemilih, dan proses penghitungan suara.
Selain Bawaslu dan APH (aparat penegak hukum), publik perlu memantau dan melaporkan semua kecurangan kepada pihak-pihak terkait, untuk segera diproses.
Apakah satu atau dua putaran tidak menjadi masalah. Kita perlu mengikuti seluruh tahapan pemilu dengan tertib, bersih dari hoaks, dan kecurangan.
Pemilu hendaknya tetap menjadi pesta demokrasi yang perlu kita nikmati dan rayakan.
https://nasional.kompas.com/read/2024/02/10/08511121/selangkah-menuju-praktik-demokrasi-berkualitas