Salin Artikel

Urgensi Pengakuan Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat

Secara normatif, segala upaya yang dilakukan pemerintah adalah ancaman nyata terhadap masyarakat hukum adat.

Alih-alih melindungi, regulasi yang lahir di era pemeritahan Presiden Joko Widodo tersebut justru berpotensi menghapus masyarakat hukum adat dari tanah leluhurnya.

Dalam hal penerbitan sertipikat hak milik di atas tanah adat, hal ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, kebijakan ini akan memberikan kepastian hak milik pada masyarakat, tapi di sisi yang lain akan menyebabkan keberadaan masyarakat hukum adat tergerus, bahkan terhapuskan dari tanah leluhurnya.

Patut disadari, pemberian sertipikat bukanlah wujud penghormatan dan perlindungan hak masyarakat adat.

Pemberian sertipikat hak milik atas tanah adat hanya menunjukkan dominasi negara atas wilayah masyarakat adat.

Hal yang seharusnya dihindari, sebab secara konstitusional keberadaan masyarakat hukum adat diakui, yang memberikan konsekuensi kepada negara untuk menghindari upaya-upaya melamahkan keberadaanya.

Sementara pemberian sertipikat atas tanah adat hanya akan menjadikannya objek komersialisasi yang seharusnya tidak dikenal dalam konteks masyarakat hukum adat.

Negara terkesan hanya menjalankan proses legalisasi aset dengan cara menyederhanakan hubungan masyarakat dengan tanahnya.

Pemerintah seakan menilai hubungan masyarakat hukum adat dengan tanahnya hanya sebatas hubungan ekonomi. Padahal, hubungan masyarakat adat dengan tanah juga termasuk hubungan sosial, ekologi, bahkan religi.

Menilik catatan historis, keberadaan masyarakat hukum adat erat kaitannya dengan tanah adat sebagai tempat tinggal. Tanah adat dijaga secara turun temurun dan tidak menjadi objek komersialisasi, melainkan menjadi penyangga silahturahmi antarsuku.

Selanjutnya, adanya Perpres 78/2023 juga menjadi ancaman terdekat. Proyek yang datang secara tiba-tiba seringkali merampas tanah masyarakat hukum adat secara paksa.

Keberadaan masyarakat hukum adat yang sudah memiliki ikatan religius dengan tanahnya justru dipaksa pergi.

Memang dalam hal pembebasan lahan, masyarakat direlokasi ketempat lain dan diberikan ganti rugi. Namun dalam konteks perlindungan terhadap masyarakat hukum adat pola pikir ini keliru.

Relokasi dan pemberian ganti rugi yang diterima oleh masyarakat tidak akan pernah sebanding dengan ikatan batin masyakat dengan tanah leluhurnya yang harus dikorbankan.

Masyarakat sudah hidup mengakar di wilayahnya, di sana mereka dilahirkan, tumbuh dan berkembang menjadi masyarakat hukum adat yang kuat.

Di sana juga mereka hidup dan mati serta dikuburkan, tentu ini menjadi ikatan yang tidak dapat dilepaskan dengan mudah. Oleh sebab itu, seharusnya, pemerintah memberikan hak pengakuan tanah adat, bukan sertipikat hak milik.

Terhadap tanah adat atau tanah ulayat, seharusnya cukup pencatatan secara adminsitrasi tanpa sertipikat. Hal ini bertujuan agar tanah yang menjadi budaya leluhur bangsa Indonesia tetap ada.

Penerbitan sertipikat hak milik atas tanah adat hanya akan menyebabkan hilangnya keberadaan masyarakat hukum adat yang selama ini selalu terjaga karena adanya tanah ulayat.

Untuk pencatatan secara administrasi, konsep desa adat di Bali, seharusnya dapat menjadi contoh, di mana desa adat bisa jadi subyek milik tanah adat.

Meski tak ada cantolan hukum, KATR/BPN masa kepemimpinan Sofyan Djalil membuat peraturan yang memungkinan desa adat bisa menjadi subyek milik.

Saat ini, skema yang sama juga tengah diupayakan untuk diterapkan terhadap Suku Baduy. Skema seperti itu seharusnya lebih masif diterapkan dalam upaya untuk melindungi masyarakat hukum adat di daerah lain.

Dalam hal ini, yang diperlukan oleh masyarakat hukum adat adalah pengakuan atas wilayah adatnya, bukan pengakuan sektoral sebagai hak milik individu.

Tanah dalam konteks masyarakat hukum adat adalah milik komunal, sementara individu hanya memiliki hak untuk mengelola.

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Nico Wamafma dari Greenpeace Indonesia dalam tulisan berjudul “Terbitkan Sertifikat HPL di Wilayah Adat, Menteri ATR/BPN Tuai Kritik” (2/11/23), bahwa yang dibutuhkan masyarakat adat adalah pengakuan atas eksistensi dan wilayah adat mereka.

Nico menambahkan bahwa wilayah adat tak boleh dilihat sepotong-sepotong. Kampung, hutan, kebun, air yang mengalir, sumber daya alam semua terintegrasi dalam satu kesatuan wilayah adat.

Terkait dengan kewajiban pembayaran pajak, pencatatan administrasi dalam bentuk tanah komunal/kaum/suku tidak bisa dijualbelikan. Hal ini erat kaitannya dengan status tanah adat yang tidak dapat dikomersialisasikan.

Selain itu, tanah adat tidak seharusnya dibebankan kewajiban membayar pajak, sebab pencatatan administrasi yang dilakukan bertujuan mempertahankan budaya dan mempertahankan kelangsungan hidup masyarakat hukum adat.

Namun demikian, bukan berarti status tanah adat sepenuhnya meniadakan pembayaran pajak. Hanya saja konsepnya yang berbeda.

Dalam kontek tanah ulayat atau tanah adat, kewajiban pembayaran pajak bumi dan bangunannya melekat pada pengelola, dalam artian siapa yang menggarap dia yang bertanggung jawab membayar kewajiban pajaknya.

https://nasional.kompas.com/read/2024/01/30/11181491/urgensi-pengakuan-hak-atas-tanah-masyarakat-hukum-adat

Terkini Lainnya

Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Hasto PDI-P: Banteng Boleh Terluka, tapi Harus Tahan Banting

Nasional
PDI-P Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK: Banyak yang Kita Tak Tahu 'Track Record' Pemberantasan Korupsinya

PDI-P Sentil Penunjukan Pansel Capim KPK: Banyak yang Kita Tak Tahu "Track Record" Pemberantasan Korupsinya

Nasional
Respons Putusan MA, Demokrat: Bisa Ikut Pilkada Belum Tentu Menang

Respons Putusan MA, Demokrat: Bisa Ikut Pilkada Belum Tentu Menang

Nasional
Blok Rokan Jadi Penghasil Migas Terbesar Se-Indonesia, Jokowi Berikan Apresiasi

Blok Rokan Jadi Penghasil Migas Terbesar Se-Indonesia, Jokowi Berikan Apresiasi

Nasional
Tiru India, Pemerintah Siapkan PP Mudahkan Diaspora Balik ke Indonesia

Tiru India, Pemerintah Siapkan PP Mudahkan Diaspora Balik ke Indonesia

Nasional
Menpan-RB Dorong Kantor Perwakilan RI Terapkan Pelayanan Publik Terintegrasi

Menpan-RB Dorong Kantor Perwakilan RI Terapkan Pelayanan Publik Terintegrasi

Nasional
Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Beri Karpet Merah Dinasti Jokowi

Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah Dinilai Beri Karpet Merah Dinasti Jokowi

Nasional
Kunjungi Kantor Pusat DEC di China, Puan Tekankan Pentingnya Peningkatan Kerja Sama Antarnegara 

Kunjungi Kantor Pusat DEC di China, Puan Tekankan Pentingnya Peningkatan Kerja Sama Antarnegara 

Nasional
Isnaq Rozaq, Peternak Termuda DD Farm Jateng yang Tekun Gapai Mimpi Jadi Musisi

Isnaq Rozaq, Peternak Termuda DD Farm Jateng yang Tekun Gapai Mimpi Jadi Musisi

Nasional
Prabowo Bertemu PM Baru Singapura, Janji Lanjutkan Kerja Sama Bilateral

Prabowo Bertemu PM Baru Singapura, Janji Lanjutkan Kerja Sama Bilateral

Nasional
PDI-P Pertimbangkan Usung Anies di Jakarta jika Diusulkan Akar Rumput

PDI-P Pertimbangkan Usung Anies di Jakarta jika Diusulkan Akar Rumput

Nasional
Sempat Tidak Fit, Megawati Sapa Warga di Kantor PDI-P Ende

Sempat Tidak Fit, Megawati Sapa Warga di Kantor PDI-P Ende

Nasional
Sentil Projo, PDI-P: Pemimpin Partai Lahir dari Kaderisasi, Bukan Berupaya Perpanjang Kekuasaan

Sentil Projo, PDI-P: Pemimpin Partai Lahir dari Kaderisasi, Bukan Berupaya Perpanjang Kekuasaan

Nasional
PDI-P Ingatkan GP Ansor: Spirit NU untuk Merah Putih, Bukan Keluarga

PDI-P Ingatkan GP Ansor: Spirit NU untuk Merah Putih, Bukan Keluarga

Nasional
Profil Thomas Djiwandono, Ponakan Prabowo yang Dikenalkan Sri Mulyani ke Publik

Profil Thomas Djiwandono, Ponakan Prabowo yang Dikenalkan Sri Mulyani ke Publik

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke